Idul Adha Diprediksi Kembali Berbeda, Kemenag: Jangan Saling Menghujat!

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: MUHYIDDIN, ZAINUR MAHSIR RAMADHAN

Hajinews.id – Perbedaan waktu 1 Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 1444 H/2023 M beberapa waktu lalu diprediksi berlanjut saat momentum Hari Raya Idul Adha 1444 H/2023 M. Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag) Prof Kamaruddin Amin menjelaskan, potensi terjadinya perbedaan tersebut karena posisi hilal.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Ada potensi berbeda lagi (Idul Adha, sama seperti penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri 2023),” ujar Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag) Prof Kamaruddin Amin saat ditemui seusai menutup acara “Peta Moderasi Beragama di Kelompok Media” yang digelar Direktorat Penais Kemenag di Jakarta, Selasa (30/4/5/2023).

Berdasarkan kalender Hijriyah Indonesia tahun 2023, Lebaran Idul Adha pada 10 Dzulhijah bertepatan pada 29 Juni 2023. Sementara, PP Muhammadiyah sudah menetapkan lebih dulu bahwa Idul Adha 2023 jatuh pada 28 Juni 2023. Meskipun ada potensi perbedaan itu, menurut Prof Kamaruddin, Pemerintah Indonesia baru akan menetapkan Idul Adha 2023 secara resmi pada saat menggelar sidang itsbat penetapan awal Dzulhijah 1444 Hijriyah.

Potensi itu sama dengan kemarin, ada potensi perbedaan itu karena posisi hilal.
PROF KAMARUDDIN AMIN Dirjen Bimas Islam Kemenag
“Jadi, meskipun (ada potensi perbedaan), kita tunggu hasil sidang itsbatnya. Tapi, potensi itu sama dengan kemarin, ada potensi perbedaan itu karena posisi hilal,” ujar Prof Kamaruddin.

Lalu, mengapa akhir-akhir ini sering berbeda dalam penetapan hari raya atau awal Ramadhan? “Itu murni karena posisi hilalnya yang seperti itu kondisinya. Jadi, ada kemungkinan berbeda lagi. Tapi, kita tunggu lah sidang itsbat dan mengharapkan masyarakat bisa menerimanya secara bijak kalaupun ada perbedaan-perbedaan seperti itu,” kata dia.

Adanya perbedaan Hari Raya Idul Fitri 2023 sebelumnya juga sempat memicu perdebatan para ahli di media sosial. Perdebatan itu dipicu oleh status Facebook peneliti Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) yang pernah menjabat sebagai kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Profesor Thomas Djamaluddin.

Prof Kamaruddin menilai, perdebatan terkait penentuan hari raya di media sosial memang cukup sulit untuk dibendung. Menurut dia, setiap orang memiliki perspektifnya masing-masing.

“Tapi, yang perlu kita bersama-sama konsen adalah saling menghargai perbedaan itu dan perdebatan itu supaya tetap bijak, tidak saling menghujat, tidak saling menghina dan seterusnya. Artinya, tetap dengan cara-cara yang terhormat,” ujar Kamaruddin.

Dia pun menyayangkan peneliti BRIN, Andi Pangerang Hasanuddin, yang sempat menjadi sorotan karena mengunggah komentar kontroversial, bahkan mengumbar ancaman pembunuhan kepada kader Muhammadiyah di akun Facebook Prof Djamaluddin. Karena itu, dia pun mengimbau kepada masyarakat untuk selalu santun dalam mengutarakan pendapatnya di media sosial, sehingga kasus seperti itu tidak terjadi lagi.

“Kita imbau supaya saling menghormati supaya santun dalam menyampaikan pendapat. Mudah-mudahan tidak lagi seperti itu (Kasus AP Hasanuddin), karena itu meresahkan masyarakat. Mudah-mudahan tidak ada lagi kasus seperti itu,” kata Prof Kamaruddin.

Dia mengakui bahwa perdebatan yang dilakukan di media sosial memang tidak begitu produktif. Karena itu, menurut dia, pihaknya terus melakukan diskusi ilmiah terkait dengan penentuan awal bulan Hijriyah. “Diskusi-diskusi akademik terus kita lakukan, kita kan sering dialog, sering mengundang juga para pakar untuk mendiskusikan itu,” ujar dia.

Kasus AP

Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika BRIN Prof Thomas Djamaluddin menyoroti pelaporan LBH AP PP Muhammadiyah kepada Komnas HAM, Selasa lalu. Menurut dia, alasan pelaporan ke Komnas HAM oleh Muhammadiyah keliru.

Thomas mengatakan, yang dia kritisi selama ini hanya kriteria wujudul hilal (WH) Muhammadiyah yang menimbulkan perbedaan pada Hari Raya Idul Fitri 1444 H. Apalagi, karena perbedaan lainnya didasarkan penggunaan metode hisab urfi (periodik), hisab taqribi (aproksimasi), atau pengamatan pasang air laut hanya dilaksanakan oleh sekelompok kecil masyarakat.

“Saya tidak mengkritisi metode hisab karena sebagai astronom saya paham betul hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan) setara,” kata Thomas dalam keterangannya kepada Republika, Jumat (19/5/2023).

Dia menambahkan, wujudul hilal hanya salah satu kriteria dalam penentuan awal bulan secara hisab. Menyoal metode yang digunakan Muhammadiyah, kata dia, memang sudah ditinggalkan beberapa ormas di dalam dan luar negeri.

“Ormas Persis, Malaysia, dan banyak negara lain sudah lama meninggalkannya. Arab Saudi masih menggunakan kriteria WH untuk kalender Ummul Quro, tetapi sekadar sebagai kalender sipil, bukan kalender ibadah,” ujar dia.

Untuk penentuan waktu ibadah, Arab Saudi, dia menyebut, menggunakan rukyat murni. Menurut Thomas, tujuan dia mengkritisi metode yang ada, sebagai ajakan kepada Muhammadiyah untuk menuju kesatuan umat dalam bingkai persatuan Indonesia. “Itu sejalan dengan perintah QS 3:103 untuk tidak berpecah belah dan sesuai juga dengan nilai-nilai sila ke-3 Pancasila ‘persatuan Indonesia’,” kata dia.

Diketahui, Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH-AP) PP Muhammadiyah melaporkan Andi Pangerang Hasanuddin (APH) dan Thomas Djamaluddin (TDj) ke Komnas HAM. Kedua peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu dinilai melakukan pelanggaran HAM terhadap warga Muhammadiyah. LBH-AP PP Muhammadiyah menemukan adanya dugaan peristiwa tindakan pelanggaran HAM, diskriminasi, dan ujaran kebencian yang dilakukan oleh APH dan TDj.

“LBH-AP PP Muhammadiyah memandang bahwa telah terjadi sejumlah serangkaian tindakan yang mengarah pada praktik pelanggaran HAM,” demikian surat pengaduan yang ditandatangi oleh Ketua LBH-AP PP Muhammadiyah Taufiq Nugroho pada Selasa (16/5/2023).

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *