Putusan MK Soal Sistem Pemilu: Terbuka atau Tertutup?

MAHKAMAH konstitusi
Suasana halaman Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, 25 Juni 2019. TEMPO/Subekti
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Mahkamah menilai ketentuan Pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 sebagai ketentuan yang berstandar ganda karena memberlakukan hukum yang berbeda terhadap keadaan yang sama.

Penulis perpandangan, jika merujuk pada pendapat Mahkamah di atas, sejatinya pemberlakuan sistem pemilu apakah akan menerapkan sistem proporsional terbuka atau sebaliknya menggunakan sistem proporsional tertutup, telah diberi ruang pilihan oleh MK.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Mahkamah, dalam hemat penulis, meskipun tidak secara expressive verbis, menilai pilihan sistem tersebut sebagai kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy).

Hanya saja, Mahkamah memberikan batas-batas pada pilihan sistem hukum itu, pertama, tidak boleh ada standar ganda.

Kedua, peran partai politik dalam menentukan calon anggota legislatif harus diarahkan pada terpilihnya calon-calon yang cakap untuk kepentingan rakyat.

Penegasan itu secara tersirat disampaikan oleh Mahkamah dalam Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 halaman 103, yang menyatakan:

Peran partai dalam proses rekrutmen telah selesai dengan dipilihnya calon-calon yang cakap untuk kepentingan rakyat, karena rakyat tidak mungkin secara keseluruhan mengartikulasikan syarat-syarat calon pemimpin yang dipandang sesuai dengan keinginan rakyat kecuali melalui organisasi politik yang memperjuangkan hak-hak dan kepentingan politik dari kelompok-kelompok dalam masyarakat.”

Pilihan sistem proporsional terbuka diapresiasi oleh Mahkamah, karena lebih sederhana dan mudah untuk menjaring munculnya calon terpilih yang sesuai dengan kehendak rakyat.

Namun jika pun misalnya, pilihan sistem proporsional tertutup yang akan diambil, maka partai politik dituntut mampu memunculkan calon-calon anggota legislatif yang akan dipilih adalah benar-benar calon yang “cakap untuk kepentingan rakyat” sebagaimana diamanatkan Mahkamah.

Dari membaca dan mempelajari Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008, menurut penulis, secara prinsip Mahkamah telah memberikan penegasan terkait pilihan sistem pemilu masuk domain kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk undang-undang.

Jika Mahkamah konsisten dengan putusannya ini, kiranya dapat diterka putusan perkara No. 114/PUU-XX/2022 akan diputuskan Mahkamah bukan merupakan kewenangannya oleh karena merupakan pilihan hukum terbuka dari DPR bersama presiden sebagai pembentuk UU.

Sumber: kompas

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *