The President Can Do No Wrong: Pilpres 2024 & CAWE-CAWE Presiden Jokowi ( Bag. 2 )

Pilpres 2024 & CAWE-CAWE Presiden Jokowi ( Bag. 2 )
Pilpres 2024 & CAWE-CAWE Presiden Jokowi ( Bag. 2 )
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Terhadap hal ini menurut pikiran saya tidak ada yang salah dari Presiden Jokowi. Siapapun di negeri ini, termasuk Presiden, tidak dilarang untuk punya kehendak dan harapan. Nothing wrong with him.

Mungkin Pak Jokowi akan melakukan pekerjaan politik untuk mencapai tujuan dan sasaran ini. Politik itu banyak caranya. Yang penting tujuan tercapai, kata sebagian kalangan. Meskipun, sebagian kalangan yang lain berpendapat bahwa cara-cara yang digunakan itu janganlah dengan “menghalalkan segala cara”. Tetapi, dalam politik, soal halal dan tidak halal itu juga subyektif. Tergantung dari mana memandangnya.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Jikalah Pak Jokowi melakukan kerja politik dengan meminta para pimpinan parpol yang tergabung dalam Kabinet Kerja dewasa ini, dan para Ketua Umum Parpol yang mayoritas adalah Menteri dan sepenuhnya mengikuti yang disampaikan presidennya, menurut pendapat saya tidak boleh Pak Jokowi divonis sebagai melakukan tindakan yang salah atau buruk.

Yang bisa membuat cawe-cawe Pak Jokowi menjadi bermasalah adalah apabila beliau melakukan tindakan (bersama dengan pembantu-pembantunya) yang di- nilai melanggar hukum dan atau menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power) guna mencegah terjadinya pasangan capres-cawapres yang ketiga.

Apabila Pak Jokowi bersama pembantunya-pem- bantunya bekerja secara “all out” agar para pemimpin parpol yang berada dalam koalisi pemerintahan Presiden Jokowi tidak membentuk pasangan ketiga disertai se-macam ancaman, ya inilah yang bisa menjadi masalah. Misalnya, sejumlah pemimpin parpol “diancam”, baik langsung maupun tidak langsung, akan diperkarakan secara hukum dan akan masuk ke ranah pengadilan jika mereka tidak menuruti keinginan Pak Jokowi. Bahasa yang mudah dimengerti oleh publik adalah dia akan dijadikan tersangka dalam proses penuntutan hukum. Konon, Pak Jokowi dan pembantu-pembantunya merasa mengantongi kasus-kasus pelanggaran hukum dari para pemimpin parpol tersebut. Kalau hal ini benar-benar terjadi, atau ya memang begitu yang terjadi, ini akan menjadi kasus yang serius.

Begini pendapat saya mengapa hal ini serius.

Jika semuanya ini benar, maka Presiden Jokowi pertama-tama melakukan “politik tebang pilih”. Kalau mengikuti keinginan beliau, meskipun dia punya kasus hukum akan aman. Sebaliknya, kalau dia mbalelo akan segera dijadikan tersangka dan masuk proses hukum. Ini tidak bisa mencegah tuduhan kepada Presiden Jokowi sebagai tidak etis dan tidak adil. Pak Jokowi akan dinilai telah mengingkari sumpah yang beliau sampaikan pada tanggal 20 Oktober 2014 dan tanggal 20 Oktober 2019, yang antara lain berbunyi, “… akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.”

Para pencinta keadilan akan mengatakan bahwa apabila para pembantunya memang terlibat dalam pelanggaran hukum yang serius, hukum mesti ditegakkan sebagaimana yang berlaku kepada warga negara Indonesia manapun. Ingat prinsip-prinsip penegakan hukum yang berlaku secara internasional, yang berbunyi no one is above the law atau juga the law is applied equally and fairly.

Yang lebih serius adalah jika seorang Presiden menghalang-halangi sebuah penegakan hukum, itu masuk dalam definisi “obstruction of justice”. Obstruction of justice ini sebuah tindak pidana (crime). Di negara manapun ada sanksi hukumannya. Dalam UU tentang Tipikor di Indonesia misalnya, perbuatan menghalang-halangi proses hukum yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi, diancam dengan hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun.

Kalau hal ini terjadi di negara yang sama-sama kita cintai ini, pantaslah kalau ada kata-kata sumbang bahwa hukum bisa dipermainkan. Negara seperti ini sering dicap bahwa yang menjadi panglima bukan kebenaran dan keadilan, tetapi politik dan kekuasaan.

Secara pribadi saya tidak setuju kalau ada upaya politik untuk membatasi jumlah pasangan Capres-Cawapres. Apa alasannya? Apa kepentingannya? Apanya yang salah kalau lebih dari dua pasang?

Pilpres Tahun 2004, di era pemerintahan Presiden Megawati, tak ada pembatasan semacam itu. Ada lima pasangan Capres-Cawapres yang berkompetisi secara demokratis. Tak ada masalah apapun dengan pasangan sebanyak itu.

(bersambung Bag. 3)

The President Can Do No Wrong: Pilpres 2024 & CAWE-CAWE Presiden Jokowi ( Bag. 3 )

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar