Kultum 160: Bid’ah Tertolak Walau dengan Niat Ikhlas

Bid’ah Tertolak Walau dengan Niat Ikhlas
Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ

Pembaca yang dirahmati Allah,

Hajinews.id – Satu hal yang kadang terdengar kontradiktif adalah, apakah suatu amalan itu masih juga tertolak padahal sudah berniat baik atau ikhlas. Mungkin sepintas ungkapan tadi bisa membuat kita ragu dan bahkan kemudian berpikir, “ah sudah berniat baik, mana mungkin tertolak?” demikian itulah gerak pikiran kita sebagai manusia biasa.

Namun, mari kita lihat riwayat berikut. Dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka ia pasti tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim). Senada dengan itu, di dalam riwayat Muslim, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia pasti tertolak”.

Menurut Imam Ibnu Daqiq al ‘Ied Rahimahullah, hadits ini merupakan salah satu kaidah agung di dalam agama. Menurutnya hadits ini termasuk salah satu Jawami’ al-Kalim (kalimat yang ringkas dan sarat makna) yang dianugerahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadits ini juga mengandung penegasan tertolaknya segala bentuk bid’ah dan perkara yang diada-adakan (dalam agama).

Sementara itu, Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah mengatakan bahwa hadits ini adalah kaidah untuk menimbang amalan secara lahiriah, bahwasanya amal tidak dianggap benar kecuali apabila sejalan atau bersesuaian dengan syari’at. Jadi, sebagaimana halnya hadits “innamal a’malu binniyat” adalah kaidah untuk menimbang amal batin.

Dengan demikian, hadits tersebut memberikan pelajaran kepada kita, bahwa (1) Segala macam bid’ah di dalam agama yang tidak dilandasi dalil al-Qur’an maupun as-Sunnah adalah tertolak, baik dalam hal keyakinan maupun amal ibadah. Pelakunya mendapatkan celaan sekadar dengan tingkat bid’ah dan sejauh mana penyimpangan mereka dari ajaran agama. Jadi, barangsiapa yang memberitakan suatu keyakinan yang tidak diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya maka dia adalah pelaku bid’ah.

Sebaliknya, (2) barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan landasan dalil dari Allah dan Rasul-Nya, baik dalam bentuk keyakinan ataupun amalan, maka hal itu akan diterima. Perlu digaris bawahi, bahwa sebagaimana dikatakan oleh Imam asy-Syathibi rahimahullah, bid’ah adalah suatu tata cara beragama yang diada-adakan dan menyerupai syari’at. Hal itu dilakukan dengan maksud untuk melebih-lebihkan dalam beribadah kepada Allah.

Penting juga untuk diketahui, bahwa bid’ah memiliki banyak dampak negatif dan konsekuensi yang jelek. Satu dari dampak negative itu adalah timbulnya konsekuensi pendustaan terhadap firman Allah,

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ

نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ

Artinya:

Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu (QS. Al-Ma’idah, aya 3).

Jadi, apabila seseorang datang dengan membawa bid’ah dan dianggap termasuk dalam agama, maka itu artinya agama ini belum sempurna!

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *