Oleh: Yudi Latif
Hajinews.id – Saudaraku, perumusan hukum itu bukan sekedar teknis pencantuman pasal, melainkan penanda dan penata peradaban.
Hal itu tersimpul dalam The Rule of Laws, karya Fernanda Pirie (2021), yang mengupas sejarah 4000 tahun usaha manusia tertibkan dunia.
Sistem hukum dasar yang berkembang di Mesopotamia, China dan India berbeda dalam bahasa, logika, dan tujuan. Visi hukum tradisi Mesopotamia tekankan keadilan, China disiplin, Hindu tertib kosmos. Visi hukum keadilan lebih akomodatif pada hak; visi hukum disiplin dan tertib lebih tekankan kewajiban.
Pelembagaan hukum berkembang melalui proses adopsi dan adaptasi. Model hukum Mesopotamia, dengan kode Hammurabi-nya, memengaruhi pelembagaan hukum dalam tradisi Semitik-Abrahamik dan Greco-Romawi.
Tradisi Semitik-Abrahamik mengadopsi kerangka dasar kode Hammurabi untuk diadaptasikan dengan tradisi dan adat Yahudi sebagai nomaden; lalu diintegrasikan dalam sistem hukum keagamaan yang tekankan kewajiban. Kristen dan Islam melanjutkan jalur ini dengan mengadopsi sebagian hukum Yahudi-Hammurabi untuk diadaptasikan dengan tuntunan agama baru dan tradisi lain. Kristen mengawinkankannya dengan tuntunan Injil dan tradisi hukum Greco-Romawi.
Islam mengawinkannya dengan tuntunan Qur’an, tradisi Nabi Muhammad dan adat lokal; menjadikan ahli agama sebagai otoritas perumus hukum, meski umumnya terbatas pada hukum pribadi dan keluarga–hukum publik jd domain penguasa.
Tradisi Greco-Romawi mengadopsi kode Hammurabi untuk diadaptasikan dengan adat lokal dan sistem Republik Romawi yang melembagakan hukum berbasis sistem hukum negara. Melahirkan civil law yg menyebar luas seiring perluasan pengaruh (republik-kekaisaran) Romawi dan Romawi Suci. Sisakan Inggris–yang tak pernah takluk (sepenuhnya) pada Romawi–dengan common law berbasis adat, tradisi dan dekrit lembaga peradilan.
Di luar itu, India dengan sistem sosial Hindu berbasis kasta, tempatkan kaum brahmana sebagai otoritas perumus hukum yang menuntun warga dan penguasa hidup tertib harmoni di jln dharma sesuai kasta, yang tercantum dalam Dharmasutra. Di China, hukum selalu produk penguasa. Guru agung seperti Konghucu lebih percaya keteladan moral penguasa daripada hukum tertulis–perkuat posisi penguasa sebagai penentu hukum. (Edulatif No. 12)