Demokrasi di Indonesia Mengalami Kemunduran, Jimly Asshiddiqie: Didominasi oleh Ujaran Kebencian

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie saat ditemui usai menghadiri open house Oesman Sapta Odang di kediamannya di Jalan Karang Asem Utara Nomor 34, Kuningan, Jakarta Selatan. Dewi Nurita/Tempo.
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menerima gelar profesor kehormatan dari Melbourne Law School, Melbourne University, Kamis 27 Juli 2023. Jimly mendapatkan gelar ini melalui Program Miegunyah Fellowship, salah satu program paling bergengsi di Australia.

Dalam pidato pengukuhannya selaku Guru Besar, Jimly membawakan pidato berjudul, “Kemunduran Demokrasi dan Rule of Law di Indonesia”. Dia mengungkapkan enam faktor yang mempengaruhi penurunan kualitas demokrasi di seluruh dunia, khususnya Indonesia.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Ada enam hal yang melanda dunia yang berpengaruh dan ikut menentukan penurunan kualitas demokrasi di seluruh dunia, yang juga berpengaruh terhadap kinerja demokrasi dan negara hukum, khususnya di Indonesia,” kata Jimly dikutip dari siaran persnya, Jumat (28/7/2023).

Adapun keenam hal itu antara lain, munculnya gelombang rasialisme dan Islamophobia di seluruh dunia. Kedua, meluaskan ujaran kebencian, permusuhan, disinformasi, dan miskomunikasi di ruang publik. Ketiga, gejala deinstitutionalisasi politik.

Keempat, berkembangnya praktik benturan kepentingan antara bisnis dan politik. Kelima, munculnya kecenderungan baru dimana 4 kekuatan yang saya namakan “macro quaru-politica” yang meliputi “state, civil society, market, and the media” bergerak ke arah genggaman satu tangan kekuasaan.

Terakhir, ancaman adanya ancaman covid-19 yang dibajak dan disalahgunakan untuk membuat keputusan-keputusan kenegaraan yang tidak partisipatoris dan mengabaikan pentingnya prinsip “deliberative democracy” dan partisipasi publik yang substantif”.

Jimly menyampaikan bahwa ruang publik di Indonesia didominasi oleh ujaran kebencian antar golongan yang meluas ke persoalan-persoalan identitas berdasarkan ras, etnis dan agama dalam kontestasi politik.

Menurut dia, orang sulit membedakan antara kritik dengan kebencian yang mem pribadi. Sehingga, banyak orang yang bersikap anti pemerintah yang harus menghadapi proses hukum.

“Hal ini tentu saja memperburuk kualitas demokrasi dan negara hukum dalam praktik,” ujarnya.

Dia mengatakan aparat penegak hukum Indonesia telah melakukan upaya untuk mengendalikan kebebasan di ruang publik, selama kurun waktu 9 tahun antara 2013-2021. Dalam hal ini, aparat penegak hukum memproses hukum sebanyak 393 orang warga berdasarkan ketentuan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Mereka umumnya dikriminalisasi karena alasan menyalahgunakan kebebasan di media sosial dengan menyebarkan berita bohong, ujaran kebencian dan sikap permusuhan di ruang publik. Namun efek samping dari tindakan represif ini, kata Jimly, warga menjadi takut untuk menyampaikan pendapat di ruang publik.

Tak hanya itu, Jimly menuturkan bahwa anyak pejabat publik yang menggunakan pasal-pasal karet dalam Undang-Undang ITE itu untuk membungkam suara kelompok-kelompok warga yang kritis terhadap pemerintah.

“Menurut laporan SAFENet, 38 korban kriminalisasi pada tahun 2021 yang paling banyak adalah para pembela hak asasi manusia. Sekitar 26 persen dari korban kriminalisasi berasal dari latar belakang aktifis,” ungkap dia.

50 Persen Pejabat di Indonesia Adalah Pengusaha
Jimly juga mengkritik pejabat negara di Indonesia yang merangkap sebagai pengusaha. Dia mengungkapkan saat ini lebih dari 50 persen pejabat negara di Indonesia, merangkap sebagai pengusaha atau memiliki saham di perusahaan-perusahaan swasta.

“Khusus para anggota DPR-RI saja pada periode 2019-2024 dewasa ini, tercatat lebih dari 60 persen adalah pengusaha atau memiliki saham atau menjadi pengurus perusahaan (direksi atau komisaris),” ungkap dia.

Bahkan, lanjut Jimly, banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) yang juga merangkap jabatan komisaris di pelbagai perusahaan milik negara. Padahal, hal ini dapat menimbulkan benturan kepentingan antara politik dan bisnis ini.

Dia mengatakan hingga kini Indonesia belum menerapkan larangan konflik kepentingan, termasuk dalam relasi antara bisnis dan politik. Kondisi ini menyebabkan banyak pejabat negara yang tersandung praktik korupsi.

“Karena itu, praktik korupsi terus saja berkembang dimana-mana, padahal sikap anti korupsi merupakan salah satu amanat terpenting dari reformasi nasional Indonesia, 25 tahun yang lalu,” pungkas Jimly.

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *