Haji tanpa Gelar

Haji tanpa Gelar
Haji tanpa Gelar
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Suatu kali Purwanti kedatangan tamu, Sarmini, wanita 60-an tahun dari Probolinggo. Sarmini sering pesan emping melinjo pada Purwanti. Sekali pesan bisa dua sampai tiga ton. Sarmini terakhir berkunjung ke rumah Purwanti sekira tiga tahun silam.

Hari itu Sarmini hendak ke Cirebon, lalu mampir ke rumah Purwanti di Desa Ngaliyan, Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Suami Sarmini sudah berangkat bersama anak-anak kemarin. Sementara Sarmini ada urusan, baru sempat berangkat hari ini bersama sopir.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Tilik haji, Bu Pur. Ada saudara saya akan naik haji tahun ini, berangkat minggu depan,” kata Sarmini.

Purwanti mengangguk-angguk. Ia menoleh ke arah dapur.

“Bik, ada tamu. Buatkan minuman!” seru Purwanti.

Beberapa menit kemudian Rukayah muncul membawa baki berisi dua cangkir teh hangat. Kepalanya senantiasa menunduk. Hati-hati ia meletakkan cangkir-cangkir itu ke meja tamu. Sedangkan Sarmini mengamati wajah Rukayah seperti mengingat-ingat sesuatu.

“Bu Rukayah?” tanya Sarmini.

Rukayah tertegun, menoleh. Ia pun tampak mengingat-ingat sesuatu, lalu sepasang matanya membelalak.

“Bu Haji Sarmini?” pekik Rukayah.

Masih memegang baki, Rukayah mendekati Sarmini yang segara bangkit, lalu mereka berpelukan.

“Apa kabar, Bu Haji Rukayah? Lama tidak bertemu,” kata Sarmini melepas pelukannya. Mata Rukayah berkaca-kaca, begitu pula mata Sarmini.

“Lama, Bu Haji Sarmini, lama sekali,” kata Rukayah, napasnya tersengal menahan rindu.

Di samping mereka, Purwanti terdiam dengan mulut terbuka dan mata menyipit.

“Maaf, saya bingung. Ada apa ini? Mengapa Bu Sarmini memanggil Bik Rukayah ini haji?” tanya Purwanti.

Sarmini menyeka mata dengan punggung tangan. Kebahagiaan masih terpancar di sepasang matanya yang berair. Ia duduk, mengatur napas, lalu bercerita.

“Begini, Bu Pur….”

Sekitar delapan tahun yang lalu, Sarmini menunaikan ibadah haji. Di Masjidil Haram ia berjumpa dengan Rukayah, yang saat itu juga berhaji dibiayai majikannya. Mereka saling bertukar alamat dan nomor telepon. Pulang berhaji, mereka masih saling berkomunikasi melalui ponsel.

“Suatu kali, saya berkabar bahwa kampung saya akan membangun masjid baru, karena masjid lama sudah tidak layak. Bu Rukayah minta nomor rekening saya. Beberapa hari kemudian Bu Rukayah menelepon kalau baru saja transfer untuk menyumbang masjid. Saya cek ke bank. Ternyata benar, ada transfer masuk dua puluh juta dari Bu Rukayah. Masya Allah, saya sampai menangis saat itu hingga pegawai bank panik,” usai bercerita, air mata Sarmini kembali bercucuran.

Sesak dada Purwanti mendengar kisah ini. Hangat pula sepasang matanya hingga berair. Ia sesenggukan. Di kursi lain, Rukayah menundukkan kepala, bahunya berguncang pelan. Begitu pula Sarmini. Ruang tamu menjadi syahdu oleh sesenggukan tiga wanita.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *