Konflik Tanah dan Budaya di Rempang

Konflik Tanah dan Budaya di Rempang
Pulau Rempang
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Radhar Tribaskoro

Hajinews.id – Rempang telah menjadi persemaian konflik tanah, satu dari ribuan kasus serupa di tanah air sejak republik ini berdiri. Penanganan konflik ini yang berat sebelah dan penuh kekerasan telah membangunkan sentimen kaum Melayu. Ribuan orang Melayu datang dari Riau, Jambi, Medan bahkan Palembang berkumpul di Rempang untuk memprotes penggusuran 6 desa di Rempang untuk kepentingan investor.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Publik menanyakan apa respon para bakal calon presiden tentang hal ini.

Penggusuran

Pulau Rempang adalah pulau kecil yang terletak di sebelah utara Pulau Batam. Pulau ini memiliki luas sekitar 2.600 hektar. dan dihuni oleh sekitar 7.500 jiwa. Mayoritas penduduk Pulau Rempang adalah orang Melayu.

Konflik tanah di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, berkaitan dengan rencana penggusuran 16 desa setempat yang notabene telah dilengkapi dengan semua fasilitas umum seperti puskesmas, masijid, jalan raya, pelabuhan, angkutan umum, lapangan sepakbola, voli, basket, jaringan listrik dan telpon, termasuk 10 unit SD, 3 unit SMP dan 1 unit SMA.

Warga desa-desa tersebut akan dipindahkan ke tempat baru yang terletak di Pulau Galang, sekitar 10 kilometer dari Pulau Rempang. Tempat tinggal baru tersebut akan dibangun oleh pemerintah Indonesia. Di tempat tinggal baru tersebut, warga akan memiliki lahan untuk bertani dan mencari ikan. Namun, luas lahan tersebut diperkirakan lebih kecil dari lahan yang mereka miliki di Pulau Rempang.

Selain itu, warga juga akan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka di Pulau Galang. Pulau Galang adalah pulau kecil yang belum memiliki infrastruktur yang memadai.

Mata pencaharian utama warga desa-desa tersebut adalah pertanian, perkebunan, dan perikanan. Sebagian warga juga bekerja sebagai pedagang dan buruh bangunan. Konflik tanah di Pulau Rempang telah menimbulkan berbagai dampak negatif bagi warga setempat. Warga kehilangan mata pencaharian, identitas, dan budaya mereka.

Atas semua kesulitan yang bakal dihadapi penduduk Rempang Pemerintah Indonesia berkewjiban mencari solusi yang adil dan komprehensif. Solusi tersebut harus dapat memenuhi kebutuhan warga Rempang dan memastikan bahwa mereka dapat hidup layak dan mampu mempertahankan identitas budaya mereka..

Klaim yang Bertabrakan

Penggusuran itu dilakukan demi pembangunan kawasan investasi terpadu Rempang Eco City. Rencana tersebut diprakarsai oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam).

Warga Pulau Rempang menolak rencana penggusuran tersebut karena mereka merasa bahwa tanah mereka adalah milik mereka secara turun-temurun dan mereka memiliki hak untuk tinggal di tanah tersebut. Mereka juga khawatir bahwa penggusuran tersebut akan membuat mereka kehilangan mata pencaharian dan tempat tinggal. Untuk diketahui Pulau Rempang mulai dihuni jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, yaitu pada sekitar abd ke-16. Ketika itu Rempang masih manjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Johor.

BP Batam mengklaim bahwa tanah di Pulau Rempang adalah milik negara dan bahwa mereka memiliki hak untuk menggunakannya untuk kepentingan pembangunan. BP Batam juga menawarkan ganti rugi kepada warga yang terkena penggusuran, tetapi warga menolaknya karena mereka menilai ganti rugi tersebut tidak adil.

Konflik tanah di Pulau Rempang semakin meruncing pada bulan Agustus 2023, ketika warga memblokade jembatan yang menghubungkan Pulau Rempang dengan Pulau Batam. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk protes terhadap rencana penggusuran.

Rempang Eco City

Usaha yang akan dibangun di Pulau Rempang adalah kawasan investasi terpadu Rempang Eco City. Kawasan ini akan dibangun oleh PT Rempang Eco City, sebuah perusahaan yang dimiliki oleh PT. Makmur Elok Graha, saah satu perusahaan di grup usaha Artha Graha yang dimiliki oleh Tommy Winata. Nilai investasi yang dijanjikan adalah Rp381 triliun. Izin investasi diberikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada tahun 2022.

Luas lahan yang diklaim oleh PT Rempang Eco City adalah sekitar 1.990 hektar, atau sekitar 76% dari luas Pulau Rempang. Luas ini meliputi lahan pemukiman penduduk, lahan pertanian, dan lahan hutan.

Di lahan seluas itu Rempang Eco City akan membangun kawasan industri, perdagangan, wisata dan pembangkit energi terbarukan. Kawasan industri akan menjadi fokus utama dari pengembangan Rempang Eco City. Kawasan ini akan menjadi tempat berdirinya berbagai pabrik dan industri, termasuk industri manufaktur, industri pengolahan, dan industri jasa.

Kawasan perdagangan akan menjadi tempat berdirinya berbagai pusat perbelanjaan, perkantoran, dan hotel. Adapun kawasan wisata akan menjadi tempat berdirinya berbagai objek wisata, termasuk pantai, hutan, dan taman. Sedangkan kawasan energi terbarukan akan menjadi tempat berdirinya berbagai pembangkit listrik tenaga surya, angin, dan air.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *