Pemerintah Berdalih Investasi, Sejumlah LSM, Serukan Penghentian Penggusuran Masyarakat Pulau Rempang

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Jakarta, Hajinews.id – Sejumlah LSM di Jakarta, yaitu; Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mendesak pemerintah Jokowi untuk menghentikan penggusuran masyarakat Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau.

Miris sekali, 78 tahun Indonesia merdeka dari penjajahan bangsa asing, namun kehidupan masyarakat Indonesia sebagian ada yang belum bisa merasakan berdaulat di tanahnya sendiri dengan dalih investasi.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Salah satu contoh yaitu di Pulau Komodo, di NTT, tahun 2019 Masyarakat setempat harus mengosongkan kawasan tersebut karena akan dijadikan kawasan wisata premium. Di tempat lain, ratusan masyarakat di Pulau Pari, Jakarta, harus terus menerus mempertahankan pulaunya dari ancaman perampasan tanah yang dilakukan oleh PT Bumi Pari Asri yang mendapatkan sertifikat HGB dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) DKI Jakarta.[2] Di Provinsi Maluku Utara, Masyarakat di Pulau Obi menyusun surat terbuka menolak Ranperda relokasi untuk kepentingan Proyek Strategis Nasional (PSN), terutama pertambangan nikel.[3]

Nasib serupa kini sedang dihadapi oleh lebih dari 7 ribu warga di Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau yang akan kehilangan hak atas tanahnya akibat dari Program Pengembangan Kawasan Rempang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam. Melalui SK Hak Pengelolaan (HPL) Kawasan Rempang yang dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang kepada Badan Pengusahaan (BP) Batam, Kepulauan Riau, untuk dijadikan kawasan investasi terpadu yang akan digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG). Proyek tersebut bernama Rempang Eco City yang menargetkan akan menarik investasi hingga Rp 381 triliun akan dibangun di atas lahan seluas 17 ribu hektar.

Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) HPL yang diberikan kepada BP Batam, pemerintah secara tegas mengindikasikan niatnya untuk menghidupkan kembali konsep domein verklaring (negaraisasi tanah). Prinsip ini mengartikan bahwa tanah dianggap sebagai kepemilikan negara, yang pada gilirannya memungkinkan pemerintah atau entitas yang berada di bawah otoritasnya, seperti BP Batam, untuk dengan mudah mengakuisisi tanah yang sebelumnya dimiliki oleh masyarakat. Padahal, prinsip ini telah ditiadakan oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Oleh karena itu, klaim BP Batam terhadap Hak Pengelolaan Lahan (HPL) sesungguhnya tidak memiliki status yang setara dengan hak atas tanah seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) yang diakui oleh UUPA.

Sebagai akibat dari keputusan ini, selama dua bulan terakhir, masyarakat di Pulau Rempang telah menyelenggarakan demonstrasi besar-besaran sebagai bentuk penolakan terhadap rencana penggusuran, serta untuk mempertahankan hak mereka untuk hidup dan memiliki tanah di pulau tersebut. Sementara itu, pada waktu yang sama, Pemerintah Indonesia Tengah telah mengadakan GTRA Summit 2023 di Pulau Karimun, yang terletak sekitar 73 km dari Pulau Rempang. Keadaan ini memunculkan paradoks yang mencolok; di satu sisi, GTRA Summit 2023 bertujuan untuk memperkuat kepastian hak kepemilikan tanah bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, namun di sisi lain, masyarakat Pulau Rempang justru menghadapi risiko kehilangan hak atas tanah mereka akibat proyek investasi pemerintah.

Situasi yang dihadapi oleh masyarakat Pulau Rempang ini berlawanan dengan pernyataan dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Kepulauan Riau, Nurhadi Putra. Seperti yang dicatat dalam situs resmi GTRA Summit 2023, Nurhadi Putra menyebutkan bahwa sebanyak 70 persen masyarakat Kepulauan Riau tinggal di desa-desa yang berada di sepanjang pesisir. Dengan demikian, melalui forum GTRA Summit 2023 yang diadakan di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, diharapkan bahwa masyarakat pesisir dapat memperoleh jaminan hukum terhadap aset dan tempat tinggal yang telah mereka miliki selama puluhan tahun.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *