Pemerintah VS Warga Pulau Rempang, 28 September Lahan Sudah Harus Kosong, Warga Bertahan Siap Dikubur

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id – Pemerintah memberikan waktu hingga tanggal 28 September kepada penduduk 16 titik kampung tua yang berada di Pulau Rempang, Batam untuk mengosongkan lahan mereka.

Pengosongan ini terkait dengan proyek strategis nasional yaitu pembangunan kawasan Eco City.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Ultimatum ini diberikan berdasarkan perjanjian antara Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) dengan pihak investor yang menginginkan lahan mereka segera tersedia pada tanggal tersebut.

Namun, penduduk kampung tua di Pulau Rempang bersikeras untuk mempertahankan tempat mereka, yang telah didirikan oleh nenek moyang mereka sejak tahun 1843.

Dalam sebuah konferensi pers di Jakarta pada Selasa (12/9/2023), Suardi, Juru bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) Pulau Rempang, menyatakan bahwa mereka tidak akan mau pindah meskipun harus menghadapi konsekuensi apa pun yang diberikan oleh pemerintah.

“Kami tidak akan mau pindah meskipun kami terkubur di situ. Karena dengan cara apa pun, itu tanah ulayat yang menjadi tanggung jawab kami untuk menjaganya,” kata Suardi menanggapi pertanyaan BBC News Indonesia mengenai tenggat waktu yang diberikan pemerintah, dalam konferensi pers di Jakarta pada Selasa (12/9/2023), dilansir dari laman Tribunnews.com.

Suardi juga mempertanyakan klaim dari BP Batam yang mengatakan bahwa sebagian warga telah setuju dengan tawaran ganti rugi rumah.

Dia curiga bahwa persetujuan ini mungkin diperoleh oleh aparat pemerintah yang melakukan sosialisasi dan menyisir rumah ke rumah.

“Apakah itu mereka dapat dari aparat yang menyisir dari rumah ke rumah melewati proses sosialisasi? Kalau dilakukan oleh oknum aparat, sehingga mendapat persetujuan, menurut saya masyarakat hanya ketakutan,” kata dia.

Menurut Suardi, masyarakat dari 16 kampung tua justru menitipkan perjuangan kepada dirinya untuk mempertahankan lahan agar mereka tidak direlokasi.

Suardi memastikan sikap masyarakat tidak akan berubah walaupun kemungkinan buruk terjadi.

“Jika memang kami ditakdirkan mati di tangan pemerintah, kami sudah ikhlas, karena itu akan jadi catatan sejarah buat kami bangsa Melayu yang berada di Pulau Rempang,” katanya.

Eskalasi situasi selama sepekan terakhir, menurut Suardi, membuat masyarakat ketakutan bahkan trauma pasca-penembakan gas air mata yang terjadi hingga di sekolah-sekolah pada 7 September.

Sehari pasca-bentrokan, Dinas Pendidikan Kota Batam menerbitkan surat untuk menghentikan sementara proses pembelajaran di sekolah.

Tak hanya itu, Suardi mengatakan banyak anak-anak takut pergi sekolah atau dilarang orang tuanya pergi ke sekolah karena khawatir dengan keamanan mereka.

“Saya punya cucu kelas 1 SD, disuruh mamanya sekolah tidak mau lagi, dia takut ditembak. Alasannya, dia masih mau hidup. Ini yang saya rasakan.. miris, sedih, melihat kejadian itu,” kata Suardi.

Selain itu, polisi juga mendirikan posko-posko di wilayah Pulau Rempang.

Bertemu Komnas HAM Warga Tegas Menolak Proses Relokasi

Dalam sebuah pertemuan bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), seluruh warga dengan tegas menolak proses relokasi yang dilakukan oleh BP Batam.

Mereka juga meminta agar tim terpadu yang mengunjungi rumah-rumah mereka untuk memaksa mendaftar sebagai warga yang bersedia direlokasi untuk menghentikan aktivitas mereka.

“Kami sepakat menolak relokasi tersebut. Selain itu kami juga meminta agar tim terpadu untuk tidak ada di lokasi pemukiman kami ini di Pulau Rempang. Kemudian meminta warga yang ditahan polisi dilepaskan dan menghentikan aktivitas tim terpadu yang mendatangi setiap rumah untuk memaksa agar segera mendaftar bersedia direlokasi,” ujar Husni, salah satu warga Pulau Rempang, Sabtu, dikutip dari Kompas.com.

Husni menyebutkan apa yang dilakukan tim terpadu dengan mendatangi warga, merupakan bentuk intimidasi.

“Jujur kami para warga merasa tidak nyaman dengan hal ini. Kami juga meminta agar BP Batam untuk berhenti berbohong dengan menyebutkan sebagian warga bersedia untuk direlokasi, karena sampai saat ini, kami warga Pulau Rempang tidak akan terima dan bersedia direlokasi,” tegas Husni.

Komisioner Mediasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Prabianto Mukti Wibowo dalam pertemuan itu meminta agar warga tetap menahan diri.

Prabianto juga mengatakan apa yang dikeluhkan warga masuk diakal, apalagi dengan keberadaan pos pengamanan di Pulau Rempang.

“Inikan perkampungan warga. Selagi mereka tidak melakukan kekerasan, tidak perlu didirikan pos kemanan di pulau Rempang. Yang ada keberadaan pos keamanan inilah yang bisa menimbulkan suasana tidak nyaman,” terang Prabianto dikutip dari Kompas.com.

Prabianto juga menyarankan agar masyarakat mau untuk berdialog dengan pihak pemerintah, terlebih pemerintah pusat.

“Kami akan memfasilitasi dialog tersebut. Untuk saat ini, Bapak Ibu posisinya tetap menolak relokasi dan hal ini sudah kami data. Nanti akan kami bicarakan dengan pihak pemerintah,” papar Prabianto.

Dalam pertemuan tersebut, Komisioner Komnas HAM juga meminta agar masyarakat Pulau Rempang untuk mempersiapkan seluruh dokumen yang dimiliki, khususnya bukti-bukti kepemilikan lahan di Pulau Rempang.

“Jadi kami harap Bapak Ibu semua untuk tetap tenang dan menahan diri. Terkait pengosongan yang batas waktunya tanggal 28 September 2023 ini, jangan terlalu dipikirkan sambil menunggu hasil pembicaraan kami dengan pihak pemerintah,” sebut Prabianto.

Prabianto mengatakan, pihaknya telah merekomendasikan kepada BP Batam, Pemkot Batam, dan Pemprov Kepri, termasuk Polda Kepri agar mempertimbangkan merelokasi warga.

Namun, pihak pemerintah daerah, kata Prabianto, menyebut hal ini bukanlah kewenangan pemerintah daerah, melainkan pemerintah pusat.

“Kami telah merekomendasikan agar relokasi terkait rencana pembangunan industri Rempang Eco City agar kembali dipertimbangkan tanpa harus menggusur warga setempat. Namun, jawaban BP Batam, pihaknya tidak bisa mengambil keputusan sendiri, mengingat proyek ini milik pemerintah pusat,” kata Prabianto.

“Ini terkait dengan perjanjian yang telah dilakukan BP Batam dengan pihak investor. Pada posisi ini, BP Batam tidak bisa mengambil keputusan sendiri dan kami akan melakukan koordinasi dengan kementerian, lembaga, di tingkat pusat, karena kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di Batam ini adalah kewenangan di pemerintah pusat, sehingga kami akan segera melakukan koordinasi dengan tingkap pusat,” ujar Prabianto.

Melihat kondisi ini, Prabianto berharap agar pemerintah benar-benar mempertimbangkan mengeluarkan HPL.

Sebab, peraturan yang berlaku dalam menerbitkan HPL harus dipastikan hak-hak pihak ketiga yang ada di dalamnya.

“Tidak ada jalan lain selain untuk meninjau kembali penerbitan HPL-nya, karena masyarakat yang ada di dalamnya harus diselesaikan terlebih dahulu. Melihat tenggang waktunya yang tinggal beberapa hari lagi, saya rasa sulit untuk terealisasi. Makanya, kami merekomendasikan agar kembali dilakukan pertimbangan,” kata Prabianto.

Prabianto juga menyoroti keberadaan posko-posko keamanan yang ada di Pulau Rempang.

Dia menyebut posko tersebut menimbulkan rasa tak nyaman bagi warga.

“Apalagi kondisinya sempat memanas, tentunya ada kesan intimidasi yang dirasakan warga yang ada di kampung tua Pulau Rempang,” terang Prabianto.

Prabianto juga berharap agar pihak aparat menarik diri.

Komnas HAM akan membuat laporan kepada Presiden Jokowi dan DPR RI jika para pihak tidak mengindahkan rekomendasi dari Komnas HAM.

“Kami mendorong para pihak untuk bersedia bermusyawarah untuk membicarakan solusi terbaik dari situasi ini. Kami pastikan jika rekomendasi yang kami sampaikan tidak diindahkan, kami akan membuat laporan ke DPR RI I hingga ke Presiden RI,” ujar Prabianto.

Sementara Direktur Walhi Nasional, Zenzi Suhadi, mengatakan bahwa langkah adanya pos-pos pengamanan di sana justru membuat warga kian ketakutan.

Untuk membuat situasi kondusif, Zenzi mengatakan langkah-langkah yang berkaitan dengan proyek ini harus dihentikan dan aparat harus ditarik.

“Kami meminta Kapolri untuk menarik seluruh personil polisi dari Rempang dan Galang,” kata Zenzi.

Menanggapi permintaan itu, Kepala Bidang Humas Polda Kepulauan Riau, Komisaris Besar Zahwani Pandra Arsyad, mengatakan bahwa pembentukan posko-posko itu dilakukan setelah masyarakat memblokir jalan menuju Pulau Rempang dan Galang.

Dia mengklaim posko yang didirikan adalah “posko kesehatan”.

“Ini untuk mendekatkan rasa kemanusiaan Polri dengan masyarakat Rempang. Kan pasca-kejadian orang pastri trauma dong. Dalam kesempatan ini, kalau ada tindakan Polri yang membuat masyarakat tidak nyaman, kami mohon maaf,” kata Pandra ketika ditanya alasan polisi mendirikan posko-posko tersebut.

Sementara itu, polisi juga telah menangkap 43 orang dalam unjuk rasa yang berujung ricuh pada Senin (11/9/2023) karena diduga melawan petugas dan berbuat anarkis”.

Sebelumnya, delapan orang juga telah ditangkap dalam kericuhan yang terjadi pada 7 September.

Unjuk rasa pada Senin, salah satunya menuntut agar mereka yang ditangkap dibebaskan.

Namun Pandra mengatakan bahwa kasus hukum mereka “tetap berlanjut” dan yang dilakukan polisi hanyalah penangguhan penahanan.

“Penangguhan penahanan itu tidak membatalkan unsur pidana yang disangkakan, dengan jaminan mereka bisa mengajak kelompoknya agar tidak turun ke jalan, apalagi sampai terulang aksi anarkis tanggal 7,” jelas Pandra.

“Tapi kalau sampai ditemukan di kelompok mereka itu tetap memprovokasi dan menyerang petugas, bahkan akan lebih banyak lagi yang kami tahan.”

Komnas HAM Minta Warga Lapor Jika Aparat Represif

Komisioner Komnas HAM bidang Pendidikan dan Penyuluhan Putu Elvina juga meminta agar warga membuat laporan ke Komnas HAM jika ada upaya represif dari aparat keamanan.

“Jadi Bapak Ibu tidak perlu khawatir lagi. Jika kembali terjadi represif dari aparat keamanan, segera laporkan ke Komnas HAM. Kami siap membantu apa yang menjadi keluhan Bapak Ibu semua,” tegas Elvina.

“24 jam kami membuka diri untuk pelaporan-pelaporan yang Bapak Ibu sampaikan terkait relokasi ini. Kami akan berkomunikasi dengan pemerintah untuk mendapatkan solusi dan jalan terbaik, yang sama-sama bisa diterima Bapak Ibu semua dan pemerintah,” ujar Elvina.

Komnas HAM yang juga mendatangi SD Negeri 024 Galang dan SMP Negeri 22 Batam di kawasan tersebut yang sempat terkena gas air mata oleh polisi.

Dari hasil kunjungan, Komnas HAM mendapati laporan dan fakta bahwa sejumlah pelajar di dua sekolah itu menjadi korban tembakan gas air mata yang ditembakkan oleh aparat gabungan kerusuhan pada Kamis (7/9/2023) lalu.

Tindakan aparat juga membuat para pelajar dan guru trauma.

“Hal ini juga menjadi atensi kami dan secepatnya akan kami bicarakan kepada pihak Kepolisian,” ujar Prabianto.

Sementara, Putu Elvina menyoroti soal trauma healing terhadap para siswa yang terkena dampak gas air mata.

“Kami berharap pemerintah dan institusi terkait dapat memberikan trauma healing agar segera mengidentifikasi anak-anak yang terdampak langsung dan hal itu dilakukan berulang. Sebab jika hanya satu kunjungan, tentunya tidak bisa memastikan berapa sebenarnya yang terdampak dari insiden penembakan gas air mata tersebut,” terang Elvina.

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *