Fenomena “Negara Keluarga Presiden Jokowi” dan PSI

Negara Keluarga Presiden Jokowi dan PSI
Kaesang
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Namun tidak ada yang menduga retaknya kemesraan antara Bos Partai dengan Petugas Partai di tubuh (PDI-P), membuat determinasi politik di lingkaran Partai tersebut menjadi 2 (dua) ”setting” poros kepentingan, yakni poros Megawati sebagai bos PDI-P dan poros Jokowi sebagai petugas partai.

Adu kuat Jokowi sebagai Presiden dan Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P, di mulai sejak Pidato Megawati dalam acara memperingati HUT 50 tahun PDI-P bulan Januari lalu, Ketua Umum PDI itu menegaskan masa jabatan presiden di Indonesia hanya boleh maksimal dua periode karena sudah disepakati bersama dan diatur dalam konstitusi.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Lah kalau sudah dua kali, ya maaf, ya dua kali,” kata Megawati. Penegasan ini sebagai reaksi mengenai wacana jabatan presiden menjadi tiga periode, dan wacana mengenai penundaan pemilu yang sempat dihembuskan elite-elite politik di Jakarta, baik itu datangnya di lingkaran kekuasaan Jokowi maupun oleh pendukung-relawan Jokowi.

Diambil alihnya Capres Ganjar Pranowo dari tangan Jokowi yang tadinya di gadang gadang oleh relawan Jokowi sebagai Capres the next Jokowi, menjadi ambyar setelah kendali pencapresan tersebut diambil alih oleh Megawati dan mengumumkan langsung Ganjar Pranowo sebagai Capres PDI-P dengan status petugas partai dalam suatu komitmen kontrak politik.

Selanjutnya, gagalnya Kaesang mendapat kepastian menjadi calon Walikota Depok dari PDI-P, dan gagalnya Moeldoko menganeksasi Partai Demokrat, setidaknya menjadi perhatian serius langkah langkah politik Jokowi dalam menghitung masa depan politik (legacy)-nya dan trah politik keluarga pasca Presiden. Partai Politik adalah kunci utama menghimpun kekuasaan, tanpa Partai adalah hal yang mustahil aman terkendali. Semua ini tentu masuk dalam area kalkulasi politik Jokowi dalam safari cawe cawe politiknya.

Pernyataan Jokowi soal pegang data intelijen partai terkait kondisi internal dan arah pergerakan partai politik,
“Saya tahu dalamnya partai seperti apa saya tahu, partai-partai seperti apa saya tahu. Ingin mereka menuju ke mana juga saya ngerti,” kata Jokowi saat membuka Rapat Kerja Nasional Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi di Hotel Salak, Bogor, Sabtu pekan lalu, 16/9/2023.*

Ha Ini dapat disimpulkan sebagai alarm politik, namun juga dibaca publik merupakan bentuk kecemasan atas ketakpastian politik-nya seperti yang di harapkan pasca lengser, apalagi dukungan pool komitmen dari PDI-P tidak lagi otomaticly sesuai settimg yang diharapkan seperti semula, baik untuk mendukung program pemerintahannya maupun trah politik keluarganya ketika dukungan PDI-P diberikan kepada anaknya Gibran dan mantunya Bob Nasution pada saat lalu.

Sekalipun dukungan publik hasil survey terhadap Presiden Jokowi menguat diakhir masa jabatannya, namun pikiran konstelasi politik melalui mutlaknya dukungan partai politik dalam jalannya kekuasaan menjadi sangat urgent. No Partai No Party !

Fenomena politik Indonesia bahwa Kadindat calon pemimpin kekuasaan tanpa Partai sendiri, akan sulit mulus-aman dan otonom. Istilah petugas partai atau boneka oligarki, fenomena ini mulai terlihat saat awal pencapresan Jokowi, sekarang Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan mengalami hal yang sama. Berbeda misalnya dengan seorang Prabowo Subianto yang sangat mulus memainkan piltical game dalam proses pencalonannya sebagai Kandidat Presiden karena memiliki partai.

Mengapa Jokowi mengalihkan dukungan sebagian besar kepada Prabowo melalui relawannya selain ke Ganjar, karena kepastian komitmen Prabowo sebagai pemilik partai besar untuk melanjutkan legacy -nya dan chemestry-nya untuk berkolaborasi dengannya dalam kekuasaan pasca lengser untuk bersama Gibran sebagai cawapres Prabowo dilihatnya jauh lebih berpotensi ketimbang mendapat akomodir di PDIP.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *