Eros, Butet, GM: Kena Prank

Eros Djarot
Armin Mustamin Toputiri
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Armin Mustamin Toputiri, Pengamat sosial budaya dan politik

Hajinews.co.id – Diuntungkan putusan Mahkamah Konstitusi, putra Presiden RI Jokowi usia 36 tahun, Gibran Rakabuming Raka, diusung sekian parpol maju sebagai Bacawapres mendampingi Bacapres Prabowo Subianto pada Pilpres 2024.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Alhasil, serta merta memantik reaksi kontroversial di tengah publik.

Banyak pihak menuding, Jokowi hendak melanggengkan kekuasaan.

Tak kecuali, ada sekian internal pendukung Jokowi, balik badan memunggunginya.

Mantan Gubernur Lemhanas dan Sekretaris Kabinet Jokowi, Andi Widjajanto salah satunya.

Juga ada rohaniawan Romo Benny Susetyo misalnya, dulu usai Pilpres 2014 terendus menulis opini “Revolusi Mental” (Kompas, 10/05/2014), tapi penulisnya mengatasnamakan Joko Widodo.

Bahkan, juga ada sekurangnya tiga budayawan terkemuka, pendukung fanatik Jokowi balik arah.

Eros Djarot, Butet Kartaredjasa, juga Goenawan Mohamad (GM) – tentu saja banyak yang lain – justru mengaku kena prank.

Ketiganya, terbuka mengaku kecewa. Bahkan GM, saat jadi tamu Rossi di Kompas-TV, berleleh airmata mengaku telah dibohongi Jokowi.

Mengaku Kecewa

Eros Djarot, sutradara tak lain adik dari aktor Selamet Rahardjo itu, lewat kanal tiktoknya menarasi kekesalannya. “Saya bukan anti Jokowi, saya pendukungnya.

Tapi mbok ya, jangan begitu. Kita ini anti KKN sesuai amanat reformasi, tapi anaknya juga mantunya, didorong jadi walikota. Malah, kini didorong lagi jadi Cawapres pula. Janganlah!”.

Sisi lain Butet Kartaredjasa, aktor putra mendiang seniman Bagong Kassudiardjo itu, justru menulis surat disampaikan ke Jokowi.

“Hari ini saya masih sedih, diam-diam saya menangis mendengar isu panas politik Indonesia. Meski sedih, saya masih punya harapan, masih percaya ada mukjizat”, tulis Butet dalam suratnya.

Jika putusan MK menyebabkan Mas Gibran berpasangan Pak Prabowo, bagi saya tulis Butet, ini awal datangnya bencana moral. “Sejak 1998, kami berjuang lahirnya seorang presiden yang pantas dijadikan contoh, jadi role-model, jadi barometer, jadi tauladan, bisa dimiliki bangsa Indoneia sepanjang sejarahnya”.

Lanjut Butet, sekarang kami sudah miliki, yaitu njenengan (Jokowi) Tinggal setahun lagi njenengan bekerja, kebanggaan itu akan abadi.

Butet menulis, Ikhlas membantu Jokowi (dari jauh) demi kebaikan bersama. “Bantuan bisa saya berikan, itu tadi: ngelingke.

Mengingatkan: Eling sangkan paraning dumadi. Selalu waspada, bahwa melik kuwi nggendong lali”.

Lain halnya, GM. Wartawan senior pendiri Majalah Tempo itu, dalam suratnya pada Jokowi menulis, jika dirinya bukan pendukung passif.

“Sebuah interview 2022 di Tokyo, saya katakan Jokowi presiden terbaik dalam sejarah Indonesia”. Tapi 2023 ini, GM seperti dia temui sedikit demi sedikit, Jokowi seperti Soeharto. Memberi perlakuan istimewa pada anak-anaknya.

Semula saya, banyak orang kagum, tulis GM. Terharu melihat Gibran dan Kaesang pengusaha biasa (jual martabak dan pisang goreng), tak memonopoli bisnis seperti anak-anak Soeharto.

“Tapi ketika mudahnya — tanpa kompetisi terbuka, tanpa prosedur benar – putra Jokowi naik kursi kekuasaan, saya mulai ragu. Ternyata Jokowi, presiden saya, presiden dicintai rakyat, memberi mereka keistimewaan tak adil. Saya terhenyak. Saya kecewa dan sedih”, tegas GM.

Gimmik Jokowi

Saya memaklumi kekecewaan ketiga budayawan saya kagumi itu. Meski, saya sebaliknya tak menduga, sangsi andai ketiga budayawan mumpuni itu, tak mengenal siapa Jokowi sejatinya.

Khusunya, di atas panggung pementasan perpolitikan Indonesia mutakhir.

Eros, Butet, terlebih GM, sekaligus intelektual. Tak mustahil, jauh khatamnya mendaras teori psikoanalisis dijajal Sigmund Freud (1856-1939). Mendeskripsi karakter seseorang, muasal analisisnya dari berinteraksinya tiga komponen.

Ego, superego, dorongan naluri. Karakter Jokowi ditakar tak semata tampakan luarnya, terlebih di dalam dirinya yang sifatnya laten.

Ketiga budayawan itu, juga seniman bertalenta di dunia peran, teater maupun film. Eros, dia sutradara terbaik untuk film terbaik, Tjut Nyak Dien.

Butet, aktor pemeran pembantu terbaik sekian kali FFI, monolognya mahir meniru cara ujar mantan Presiden RI Soeharto.

Tak kecuali GM, penyair juga giat di dunia pertunjukan. Penulis naskah drama, sekalian menyutradarai.

Berlatar kompetensi tak main-main di dunia pertunjukan, ketiganya pastilah khatam urusan karakter, watak diperankan setiap aktor.

Apakah Jokowi murni berperan protagonis, selalu bersikap baik. Atau sebaliknya justru berperan deuteragonis, bersilang dari arus protagonis. Atau, memang murni seperti dipertontonkan, berperan tritagonis. Penengah kedua arus itu.

Tentu, bukan urusan rumit bagi ketiga budayawan, sutradara itu, merumus sejatinya gimmik diperankan Jokowi, sekalipun itu dienjawantah di atas pentas politik praktis.

Sekira, di lakon manakah sejatinya watak dan karakter gimmik diperankan aktor Jokowi?

Setidaknya pada 20 puluh tahun terakhir. Dua periode memimpin pemerintahan di Solo, dua tahun Gubernur di DKI, hingga jelang sepuluh tahun mengemban jabatan Presiden RI.

Namun ajaibnya, ketiganya belakangan justru mengaku kena prank. Gagal mengenali Jokowi. Kecewa dan sedih karena merasa dibohongi Jokowi.

Dan, andai benar demikian adanya, lalu bagaimana pula publik awam — acapkali survey, 80 persen puas kinerja Jokowi – mampu tau sejatinya karakter Jokowi. Mungkinkah kepuasaan publik itu, juga akibat karena kena prank?

Entah, tapi apapun adanya kita mesti mempermaklumi banyak pihak yang belakangan mulai siuman. Sadar kena prank, merasa dibohongi.

Tidak kecuali, ketiga budayawan mumpuni itu. Meski jika ketiganya ditelisik, jauh sebelumnya bukan mustahil khatam tau sejatinya gimmik diperankan Jokowi.

Hanya saja, fanatisme mereka terselubung dua faktor.

Satunya, karena sebelumnya sehaluan idiologi parpol pengusung Jokowi. Kedua, karena sejak mula memang tak pernah searah figur yang acapkali jadi pesaing Jokowi. Dan kini, Pilpres 2024 bersekutu.

Wajar, pilihan politik memang ubahnya memilih menu di kedai kopi.

Memilih meneguk kopi, tak murni semata fanatik pada kopi. Juga, seringkali semata alienasi ketaksukaan pada teh.(*)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *