Haji Mabrur Bagi Kaum Dhuafa

Haji Mabrur Bagi Kaum Dhuafa
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Muhtar Sadili, Senior Editor RMBooks Jakarta

Hajinews.co.id – Dalam ilmu fikih dikenal istilah penarikan hikmah dan nilai filosofis dari satu ibadah, sama pentingnya dengan pelaksanaan ibadah itu sendiri. Inilah yang selalu saja ditegaskan para mujtahid di akhir pembahasannya hukumnya, agar umat bisa menarik pesan ibadah untuk peran nyata dalam kehidupannya.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kira-kira apa yang bisa ditarik dari jutaan jamaah haji yang akan berkumpul di tanah suci. Haji adalah rukun Islam kelima yang di dalamnya mengandung pesan sekaligus simbol peduli pada sesama.

Haji Mabrur, secara bahasa dan istilah mempunyai relasi kuat dengan kepedulian sosial. Kata mabrur yang berasal dari kata bir dalam bahasa arab diartikan sebagai kebaikan. Nah, dalam al-Qur’an makna itu dilebarkan bahwa kebaikan hanya diperoleh jika menafkahkan harta yang kita cintai untuk meringankan beban hidup orang lain di sekitar kita (QS ‘Ali Imran:9).

Begitu juga jika ditilik ibadah lainnya dalam rukun Islam setelah syahadat sebagai pengakuan akan Tuhan dan Nabi, seperti shalat, puasa dan zakat. Pelaksanaan shalat akan dianggap sebagai pendustaan agama, jika pelakunya tidak peduli terhadap penderitaan anak yatim dan para fakir-miskin (al-Ma’un:1-5).

Puasa sengaja dialamatkan untuk melatih diri dengan biasa merasakan lapar-dahaga di siang hari, agar merasakan derita kaum papa (hadits bukhari-muslim). Secara tegas, kita temukan dalam zakat, yakni dengan mengeluarkan sebagian dari harta yang telah mencapai jumlah tertentu (nishab), untuk kaum dhu’afa (Qs at-Taubah 9:60).

Kagum Ibadah Haji

Spirit komunitas haji melahirkan rasa kagum dan kaget. Di tengah negeri yang masih terlilit krisis ekonomi, jumlah kuota haji tidak mengalami perubahan yang signifikan, bahkan tahun ini grafiknya cenderung naik – terlepas dari adanya waiting list. Anehnya, problem kemiskinan tidak berbanding lurus dengan spirit komunalitas tadi. Sejatinya, secara organik dan fungsional ibadah haji memerankan dirinya dalam usaha untuk menuntaskan problem kemiskinan bangsa.

Orang telah berhaji semestinya siap jadi agen penting dalam mobilitas kepedulian sosial. Secara individual mereka mempunyai modal cukup dan sepulangnya dari perjalanan haji bisa memetik hikmah haji dengan merefleksikan “kesalehan sosial”-nya. Mendarmakan sebagian harta untuk dhu’afa, sama derajatnya dengan mengeluarkan biaya ke tanah suci bagi orang yang mampu.

Pesan peduli pada sesama karena haji setidaknya bisa diurai sebagai berikut. Pertama; afirmasi terhadap ego pribadi atas sesama yang dibuktikan dengan penanggalan pakaian yang biasa dipakai digantikan dengan hanya dua helai kain putih (kain ihram). Bukankah pakaian dalam prakteknya telah melahirkan kasta sosial, ekonomi, dan atau politik? yang mana dalam ritual ibadah haji itu diganti dengan kain sederhana yang warnanya sama dengan kain kafan (pembungkus mayat) sebagai simbol akhir sebuah persamaan ketika hidup berakhir.

Itu diperkuat oleh Ali Syari’ati (1980); “di Miqat ini apapun ras dan sukumu, lepaskanlah semua pakaian yang engkau kenakan sehari-hari sebagai (a) serigala; yang melambangkan kekejaman dan penindasan, (b) tikus; yang melambangkan kelicikan, (c) anjing; yang melambangkan tipu daya, (d) kambing; yang melambangkan penghambaan. Lepaskan dan berperanlah sebagai manusia sesungguhnya”

Kedua; pelarangan terhadap perbuatan membunuh, menumpahkan darah, dan mencabut pepohonan. Pada dasarnya manusia berfungsi sebagai penjaga atas makhluk-makhluk lainnya untuk mencapai tujuan penciptaannya. Begitu juga larangan untuk memakai wangi-wangian, bercumbu atau berhubungan suami-isteri, dan menggunting kuku, yang semuanya itu melambangkan hiasan yang terkadang menyilaukan hakikat kemanusiaan itu sendiri.

Ketiga; mengelilingi ka’bah (thawaf) untuk mengingat isteri Nabi Ibrahim yang merupakan budak dari kalangan hitam ketika menggendong putranya, Isma’il. Akan tetapi, Tuhan telah menjadikannya mulia bukan karena kedudukan dan status sosialnya, tapi karena keyakinan dan usaha gigihnya untuk hijrah dari batil menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *