Haji Mabrur Bagi Kaum Dhuafa

Haji Mabrur Bagi Kaum Dhuafa
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Keempat; di ‘Arafah semua jamaah haji berkumpul di padang luas nan gersang wuquf (berhenti) sampai terbenam matahari. Praktek ini, sekali lagi, akan membuat setiap individu sadar akan status kemanusiaannya sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain.

Kelima; keberangkatan ke Muzdalifah dengan mengumpulkan batu yang akan dipergunakan di Mina. Tahap akhir dari ibadah ini menyimpulkan bahwa setelah penyucian diri yang dilakukan dengan melaksanakan ritual-ritual tadi di atas, dituntaskan dengan melenyapkan musuh (melempari setan dengan batu) dalam diri kita dan memulai hidup sadar atas status kemanusiaan universal.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Mabrur Tanpa Ke Tanah Suci

Sejatinya, pandangan di atas bersemai dalam setiap denyut kehidupan meskipun tidak berangkat ke tanah suci. Artinya, substansi ibadah haji lebih dilihat sebagai titik strategis tanpa menegasikan hukum wajib haji itu sendiri. Karena, artikulasi nilai-nilai yang disimpulkan dalam ibadah haji tadi mempunyai korelasi kuat dengan kecendrungan meremehkan atas realitas kemiskinan di sekeliling kita.

Alkisah, ada sepasang suami-isteri yang dikenal cukup taat beribadah dan mempunyai cukup bekal untuk melakukan ibadah haji. Hanya karena kebiasaan dia menolong sesama kaum yang lemah (mustadh’afin), ketika betemu dengan orang yang kelaparan, maka diberikanlah bekal yang seadanya tadi dan setelah itu pulang kembali ke kampungnya. Ketika sampai di rumah, suami-isteri itu dikejutkan oleh orang yang berjubah putih dan langsung menyalaminya.

Dengan kaget mereka berkata, “kami tidak jadi hajinya”. Penyambut tadi menjawab, “kalian sudah jadi haji mabrur, karena tadi telah menyantuni orang meski tidak berangkat ke tanah suci”.

Cerita ini saya kira menyadarkan kita pesan suatu ibadah dan tidak terjebak pada formalitasnya semata. Dengan pengamalan semua nilai-nilai luhur ibadah haji, yakni kepedulian sosial, niscaya nestapa kemanusiaan yang melilit negeri ini sepertinya dapat diselesaikan. Karena, kemiskinan yang melanda tidak sedikit disebabkan oleh struktur sosial yang melingkupinya. Tanpa melakukan perubahan terhadap cara pandang atas problem kemiskinan dalam kacamata keberagamaan (baca: ibadah haji), pengentasan kemiskinan akan jauh panggang dari api.

Kedudukan agama sebagai gugusan nilai yang bisa membentuk struktur masyarakat yang adil dan beradab. Islam adalah lanskip teosentris-humanisme , yang membuat muslim tidak saja bersaksi akan adanya Tuhan dan Nabi, tapi selalu menyuguhkan aksi konkrit untuk kemanusiaan universal (Kuntowijoyo:1998). Dengan kata lain, anggapan Neitzhe (1980) bahwa agama sebagai racun, akan tereduksi dengan perubahan status agama dari sifatnya yang dogmatis dengan hanya mengandalakan hubungan ke langit, menuju post-dogmatis yang memfungsikan dirinya untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab.

Haji harus mendorong kaum muslim jadi agen terdepan dalam melepaskan belenggu komunitas yang secara sosial, ekonomi, dan budaya telah tertindas (mustadh’afin). Peran agama tidak saja pembentukan mental yang sadar akan “kekuasaan kosmis”, tapi menyelami problem kemanusiaan yang bermunculan di sekelilingnya. Ini memang sulit, memerlukan latihan dan komitmen yang tinggi.

Yakin Usaha Sampai, Amiiin.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *