Dinasti Sultan versus Dinasti Jokowi

Dinasti Sultan versus Dinasti Jokowi
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Dalam dunia politik, istilah tidak sengaja, khilaf atau keceplosan susah dimengerti, apalagi Ade merupakan corong atau propagandis partai penguasa, PSI (lihat: spanduk-spanduk PSI adalah Partai Jokowi). Jika partai penguasa melakukan suatu statemen, sepertinya bisa jadi itu merupakan desain utuh yang kita perlu lihat ke depan efek dan konsekuensi politik pernyataan Ade tersebut. Kita harus menunggu.

Politik Dinasti Jokowi

Kembali ke isu politik dinasti yang hangat belakangan ini, pokok perkaranya adalah adanya kecurangan yang dilihat masyarakat, khususnya mahasiswa dalam perkara Mahkamah Konstitusi (MK) terkait umur kandidat cawapres. Persepsi publik terbentuk demikian karena MK dianggap menyelewengkan aturan konstisusi atau UU Pemilu demi memuluskan anak presiden, Gibran, menjadi cawapres Prabowo. Keributan mahasiswa berbeda dengan kelompok partai tertentu maupun para eks pendukung Jokowi, yang bersuara oposisi karena Gibran menjadi dipihak Prabowo, bukan karena pelanggaran konstitusi itu sendiri. Seandainya Gibran menjadi Cawapres Ganjar, boleh jadi mereka tetap melihat itu bukan sebagai pelanggaran.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Jadi isu dinasti ini sesungguhnya berbeda sama sekali dengan urusan Kesultanan Yogyakarta. Isu dinasti saat ini adalah upaya illegal Jokowi alias “cawe-cawe” yang seharusnya tidak dilakukan seorang presiden. Sebab, Jokowi, dengan pengakuannya cawe-cawe telah merusak suasana pemilu jujur dan adil serta netral, setidaknya terlihat dari fakta-fakta konsekuensinya, seperti surat pj. Bupati Sorong mendukung Ganjar karena tekanan aparat pusat, pengakuan Aiman adanya arahan aparat memenangkan Prabowo, fenomena penggantian pejabat-pejabat daerah yang diduga berbasis konspirasi pilpres, dan lain sebagainya.

Sepanjang eks pendukung Jokowi hanya membatasi diri bahwa demokrasi dan penegakan hukum hancur ditangan Jokowi, alias nilai 5 kata Ganjar, lalu di demarkasi penjelasan Mahfud MD, pada era hanya paska penetapan MK terkait Gibran, maka kelompok eks pendukung Jokowi tersebut terperangkap pada kelompok kecil. Sebab, berbagai kejahatan demokrasi, dalam perspektif saya dan kaum oposisi selama ini, perusakan demokrasi telah terjadi sejak Jokowi berkuasa. Hal itu ditunjukkan dengan pemenjaraan aktifis-aktifis pro demokrasi, seperti Rahmawati Sukarnoputri, Hatta Taliwang dkk, 2016; saya dan kawan-kawan KAMI, 2020, para ulama dan lainnya, terakhir pemidanaan penggiat isu HAM Harris Azhar dan Fatia Maulidiyanti saat ini.

Kelompok penggiat demokrasi dan HAM dari eks pendukung Jokowi hanyalah sakit hati belaka karena mereka ditinggalkan Jokowi secara politik.

Demokrasi dan Pilpres

Isu politik dinasti berkembang dengan arah terbelah. Arah pertama yang digelontorkan mahasiswa diberbagai daerah, yang marak saat ini. Mereka dalam sejarahnya bergerak berdasarkan hati nurani. Memang sebagiannya ada yang merupakan perpanjangan tangan kelompok politik tertentu. Namun, karena mahasiswa merupakan avant-garde perjuangan, mereka menjadi independen sebagai kelas menengah yang tidak mau diatur. Intinya dalam buku Youthquake 2017 dijelaskan fenomena anak-anak muda dunia yang memang “anti-establishment” an-sich saat ini.

Arah kedua adalah menempatkan isu dinasti politik sebagai alat tekan agar Jokowi tidak cawe-cawe lagi dalam urusan pilpres. Keluhan kelompok Ganjar-Mahfud dan Kelompok AMIN terus terjadi dengan adanya persepsi telah dan akan terjadi kecurangan pemilu, seperti data pemilih bocor, markas partai didatangi polisi, Jokowi membuntuti kampanye Ganjar, dan lain sebagainya. Apalagi tim pemenangan Prabowo-Gibran memastikan akan menang dalam satu putaran.

Pemilu jujur dan netral sesungguhnya hanya sebuah impian. Membayangkan Jokowi netral dengan anaknya Gibran yang sedang berkontestasi adalah fantasi buruk. Bagaimana seorang ayah membiarkan anaknya kalah dalam pilpres? Saya sendiri, sebagai pendukung resmi Prabowo 2014 dan 2019 meyakini kekalahan Prabowo saat itu terjadi dengan penuh kecurangan.

Dalam situasi demokrasi yang buruk selama ini serta adanya dugaan kecurangan yang sama di pilpres lalu, maka menghadang “politik dinasti” ataupun mengharap “pemilu netral” jauh panggang dari api. Berbagai intervensi kekuasaan merupakan konsekuensi dari hilangnya demokrasi selama ini.

Dalam suasana seperti ini pula tentunya Prabowo-Gibran akan menang satu putaran dan Gerindra akan tampil sebagai pemenang pilpres/pemilu. Kajian ini mirip juga diprediksi oleh Professor Hendropriyono beberapa hari lalu, sebagaimana diberitakan berbagai media massa, bahwa Prabowo-Gibran menurutnya akan menang.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *