Disway: Jembatan Butuh

Jembatan Butuh
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dahlan Iskan

Hajinews.co.id – Ada Mbok Brewok di halaman Balairung Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saya sulit menyebutnya: dia atau ia. Tidak cantik juga tidak ganteng.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dia/ia pakai kebaya. Pakai gelungan rambut tersanggul. Pakai lipstik. Tidak pakai BH. Dadanya rata. Kumisnya melintang. Jenggotnya membrewok. Suaranya besar.

Di situ Mbok Brewok jualan makanan. Di rombong sederhana tapi bermerek.

Mereknya itu yang sensitif: Bajingan –akronim dari bajigur dan gorengan. Laris.

Istri saya beli bajigur dua porsi. Teman-teman istri juga beli –sambil minta bisa foto bersama Mbok Brewok.

Mbok Brewok memang alumnus sekolah seni terkenal di Yogyakarta –Institut Seni Indonesia (ISI).

Nama aslinya: Ichsan. Laki-laki. Ia/dia seniman merangkap pengusaha kecil.

Bajigurnya asli desa Cangkringan di lereng gunung Merapi. Itulah desa Mbah Marijan –pawang Merapi yang tewas akibat ledakan gunung yang dijaganya.

Dan dia/ia tidak sendirian. Ada yang lebih senior di situ: Ong Harry Wahyu. Jualan lain lagi. “Saya baru selesai rapat dengan Mas Butet,” ujar Wahyu tergopoh.

Butet Kartaredjasa memang akan punya gawe besar minggu depan: Tumbuk Ageng. Di Padepokan Bagong Kussudiardja, yang dibangun almarhum ayahandanya.

Tahun ini Butet berusia 64 tahun. Mestinya diperingati November lalu. Tidak. Akan disatukan di tanggal 26 Desember nanti. Agar bertepatan dengan Tumbuk Ageng.

Tumbuk artinya bertemu tanpa janjian. Ageng, Anda sudah tahu. Ketika Anda berusia 64 tahun maka hari kelahiran Anda dan weton pasaran Anda persis sama saat Anda dilahirkan.

Sebenarnya tiap 8 tahun hari dan weton juga bertemu. Tapi di umur 64 tahun itulah terjadi pertemuan ke delapan kalinya. Delapan tahun delapan kali. Karena itu disebut ageng.

Perayaan Tumbuk Ageng seperti itu jarang dilakukan oleh orang Jawa masa kini. Saya pun lupa ketika usia menginjak 64 tahun. Pikiran saya saat itu lagi serius ke penyakit kanker di hati.

Wahyu sendiri menjadi koordinator salah satu kegiatan di halaman UGM itu. Khususnya di kegiatan Pasar Kangen. Itulah pasar yang buka di situ setahun sekali. Tepat di acara ulang tahun UGM. Selama dua hari. Sabtu dan Minggu. Bersamaan dengan acara lainnya: kirab dan supermarathon –lari 64 km.

Di Pasar Kangen semua kios harus bertiang bambu. Atapnya harus daun rumbia. Wahyu punya anggota tim yang spesialisasinya menyediakan kios jenis itu. Terlihat lebih seni. Bukan seperti lapak-lapak kaki lima.

Nama-nama kiosnya pun ”liar”. Ada dawet Jembut –akronim dari Jembatan Butuh.

Dawet itu biasa mangkal di dekat jembatan Butuh di kabupaten Purworejo. Pemakaian kata jembut dan butuh sebenarnya agak keterlaluan, karena di Kalimantan ”butuh” berarti kemaluan laki-laki.

Istri saya, orang Kalimantan, ikut antre beli dawetnya –sambil cekikikan bersama teman-temannyi.

Hampir tiap kios kami datangi. Benar. Semua menjual makanan kuno khas Yogyakarta. Dan karena itu disebut sebagai Pasar Kangen.

Ada bajigur, sego wiwit, sego megono, ketan lupis, pentil, cenil, cetil, sego jagung, jangan lombok ijo, walang goreng, geblek, slorot, wedang kembang tahu, sampai  mendoan tampah –saking lebarnya.

Semua jenis makanan jtu tidak boleh dijual melebihi Rp 20.000. Itu peraturan yang dibuat Wahyu. Kalau memang bahannya mahal, porsinya yang dibuat kecil.

“Sekalian satu orang bisa belanja di beberapa kios,” ujar Wahyu. “Agar terjadi pemerataan,” tambahnya.

Sebenarnya saya ingin sampai malam di halaman itu. Sekalian melihat panggung musiknya. Di depan Balairung UGM memang dibangun panggung yang sangat artistik. Terbuat dari serbabambu. Ciptaan jurusan arsitektur.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *