Membeli Suara

Membeli Suara
A voter's finger is dipped with ink after voting during elections in Jakarta, Indonesia April 17, 2019. REUTERS/Edgar Su
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Bagi penyogok, suara pemilih adalah komoditas. Sebagai komoditas, suara bisa diperjualbelikan. Tak ada harkat apalagi martabat dalam komoditas itu.

Moneytalks, duit bicara. Penyogok berpikir, suara pemilih layak dibeli. Sejatinya, penyogok mengubah momen kampanye menjadi apa yang disebut Gilles Deleuze dan Felix Guattari (1983) sebagai The Desiring-Machine (Mesin Keinginan).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Momen kampanye bukan lagi momen penting menyebarkan gagasan, melainkan diubah semata menjadi momen mengeruk komoditas. Tak ada keinginan menyerap gagasan. Yang ada hanyalah keinginan meraup kepeng.

Penyogok menjadikan momen kampanye saatnya mengiming-iming fulus pada warga, tak ada urusan dengan masa depan warga.

Bukan pula berkait pada hasrat warga demi meningkatkan taraf kehidupan. Buat penyogok, suara adalah komoditas. Ada komoditas, ada duit.

Pengubahan orientasi pemilih semacam itu jelas tak beretika, utamanya untuk membangun proses demokrasi yang bermartabat.

Penyogok hanya berpikir bagaimana cara praktis meraup kemenangan, sama sekali tak memikirkan masa depan rakyat.

Tak ada etika dalam benak penyogok. Penyogok hanya berpikir jual-putus.

Usai dapat suara pemilih, usai pula semuanya. Baginya keinginan rakyat hanyalah perkara duit. Bukan sedekah gratis, bukan pula sekadar infak.

Namun benarkah rakyat pemilih akan selugu itu nanti di hari pencoblosan Pemilu 2024? Kita lihat saja

banner 800x800