Muhammdiyah Khawatirkan Pemaksaan Pilpres Satu Putaran, Hendardi: Era Jokowi Demokrasi Mati!

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.co.id — Saat ini muncul wacana agar Pilpres 2024 satu putaran, hal itu membuat sebagian kalangan masyarakat resah.

Sebab, jika dipaksakan tetap satu putaran dampaknya bakal fatal bagi demokrasi Indonesia.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kekhawatiran terhadap wacana Pilpres 2024 satu putaran terungkap ketika webinar nasional yang digelar Moya Institute bertajuk Demokrasi Indonesia Terancam, Kamis (18/1/2024).

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof Abdul Muti mengibaratkan keinginan sekelompok pihak untuk menjadikan pemilihan umum presiden (pilpres) hanya satu putaran seperti layaknya judi rolet.

Ia meminta jangan ada pemaksaan kehendak atau manuver untuk menjadikan pilpres hanya satu putaran.

“Memangnya (judi) rolet, mutarnya sekali saja. Pilpres ini bukan seperti memutar rolet,” ujar Muti.

“Jangan ada pihak yang memaksakan, apalagi menggunakan cara-cara yang tidak sesuai konstitusi dan perundang-undangan untuk capai tujuan,” imbuhnya.

Muti juga menegaskan semua pihak harus menghormati aturan main, terutama dalam hal netralitas aparatur negara.

Secara khusus Muti meminta Presiden Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan untuk bersikap netral, di tengah keraguan publik karena putranya, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto.

Muti meminta masyarakat sipil (civil society) untuk tidak diam menyuarakan agar praktek demokrasi diselenggarakan secara bermartabat, terutama untuk mewujudkan pilpres yang bersih dari kecurangan.

Terlebih Muti melihat kondisi bangsa ini sedang tidak baik-baik saja, sehingga harus ada upaya yang dilakukan agar kualitas demokrasi bisa pulih kembali.

Muti menyebut tiga ukuran sebagai indikator pemilu berkualitas.

Pertama, proses penyelenggaraan yang berkualitas diukur dari pendataan; pelaksanaan pemungutan suara; dan penghitungan hasil pemungutan suara.

“Tiga proses ini sangat menentukan kualitas demokrasi. Harus diupayakan oleh KPU agar tidak ada warga yang punya hak politik kehilangan haknya,” ujar Muti.

Hendardi, pendiri Setara Institute mengatakan, di akhir kepemimpinannya, Presiden Jokowi mencederai demokrasi dengan berbagai dugaan penyalahgunaan kekuasaan.

Kecenderungan otoritarianisme yang melekat pada Jokowi dan praktik penyalahgunaan kekuasaan, dikatakannya, tentu bisa dibantah.

Sebab ia melihat penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintahan Jokowi bekerja melalui kanal-kanal dan instrumen demokrasi.

“Situasi ini yang sangat dikhawatirkan,” katanya.

Hendardi melihat tanda-tanda kematian demokrasi semakin terang di era Jokowi.

Bukan hanya pada sisi agenda politik dan tata kelola, tetapi juga terjadi pengabaian nilai dan etika demokrasi.

“Juga indikasi penyikapan yang represif pada aspirasi kebebasan sipil,” ujarnya.

Pemerhati isu-isu strategis dan global, Prof Dubes Imron Cotan sepakat dengan Muti bahwa pelaksanaan pilpres dan pileg harus dikawal oleh masyarakat sipil agar tuduhan bahwa dukungan Presiden Jokowi kepada pasangan Prabowo Subianto dan Gibran, serta narasi penggunaan infrastruktur kekuasaan untuk kepentingan politik pemenangan kontestasi politik 2024, dapat terbantahkan.

Hal ini agar pemilihan presiden berlangsung secara jujur, adil, bebas dari intimidasi, dan transparan di bawah pengawasan Bawaslu dan lembaga terkait, termasuk organisasi masyarakat sipil, yang prihatin atas dugaan pelanggaran dalam proses kontestasi politik tersebut.

“Jangan lupa, demokrasi Indonesia kini disoroti oleh dunia dan oleh negara-negara sahabat, khawatir terjadinya regresi demokrasi. Jangan sampai tujuan Indonesia emas berubah menjadi cemas,” tutur Imron.

Sebelumnya, pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menyebut Pilpres 2024 tidak mungkin dilangsungkan hanya dengan satu putaran.

Feri menjelaskan, hal tersebut tidak sesuai dengan UUD 1945, yang mengamanatkan pilpres dua putaran jika hanya ada dua pasangan calon (paslon).

“Pemilihan Presiden 2024 tidak mungkin berlangsung satu putaran,” ujrnya.

“Sebab UUD 1945 menghendaki dua putaran kecuali jika hanya dua pasangan capres,” imbuh Feri Amsari.

Feri kemudian menerangkan, Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 menentukan tiga elemen penting yang harus dipenuhi jika pilpres hendak satu putaran saja, di antaranya:

1. Mendapatkan suara lebih dari 50 persen suara dalam pemilu.

2. Kemenangan tersebar minimal di 20 provinsi (lebih dari setengah jumlah provinsi).

3. Minimal dari 20 provinsi itu diperoleh 20 persen suara.

Dengan demikian, Feri menekankan, kemenangan hanya melalui satu putaran di Pilpres 2024 adalah hal mustahil dan merupakan kebohongan publik.

“Berdasarkan ketentuan itu mustahil jika terdapat lebih dua capres maka akan terjadi hanya satu putaran Pilpres. Sehingga yang tersebar saat ini soal satu putaran adalah kebohongan publik yang tidak menyampaikan kebenaran konstitusional yang ada,” tutur Feri Amsari.

Sumber

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *