Presiden Boleh Berkampanye, Salah Kaprah Jokowi

Presiden Boleh Berkampanye
Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Dia kemudian memegang erat ayam hidup itu dengan satu tangan dan mulai mencabuti bulunya satu persatu dengan tangan lainnya. Ayam itu kesakitan dan mencoba lepas dari cengkraman, tetapi tidak bisa.

Lalu Stalin berkata kepada asistennya yang berdiri di sampingnya, dan seluruh anggota parlemen yang hadir: “Sekarang lihat apa yang akan terjadi”.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Setelah meletakan ayam itu, Stalin kemudian berjalan sedikit menjauh. Kemudian ia mengambil segenggam gandum, sementara itu semua anggota parlemen menyaksikan dengan rasa penasaran.

Sejurus kemudian, ayam betina yang ketakutan, sakit dan berdarah itu justru berlari mendatangi, saat Stalin menghamburkan gandum di hadapannya.

Kemudian Stalin berkata: “Begitu mudahnya memerintah orang bodoh (minim literasi politik) dan orang yang hidupnya susah. Kalian lihat bagaimana ayam itu mengejarku, meski aku sudah memperlakukan atau membuatnya kesakitan”.

Begitulah kebanyakan orang, mereka dianiaya dan diperalat oleh para pemimpin dan politisi dengan sewenang-wenang, tapi jadi pengagum hanya karena menerima hadiah murahan, makanan yang mungkin untuk bisa bertahan selama satu atau dua hari saja.

Sepotong cerita yang agaknya cukup relevan untuk kita memaknai kembali relasi pemerintah dan warga negara, yang hari ini dijembatani oleh ‘bansos politik’.

Kedua, ketidaknetralan. Hal ini yang bakal terjadi, setidaknya memengaruhi nuansa itu di tengah masyarakat pemilih, utamanya di struktur birokrasi.

Karena dengan terlibatnya presiden dalam kampanye politik, tentu saja dapat mengurangi persepsi netralitas dan objektivitas di pemerintahan, secara berjenjang dari pusat hingga ke daerah.

Apalagi bila yang di-endorse atau didukung oleh presiden adalah keluarga atau kerabat dekatnya sendiri, semisal anak, istri atau saudara kandung, netralitas tentu hanya akan menjadi slogan semata.

Ketiga, gangguan pada tugas pemerintahan. Aktivitas kampanye politik yang diikuti langsung oleh presiden, dengan tetap menyandang atau mengatasnamakan diri sebagai presiden, dapat mengalihkan perhatian dan sumber daya dari tugas-tugas pemerintahan yang seharusnya menjadi prioritas utamanya.

Konsentrasi urusan pemerintah atau kenegaraan akan tersita atau bahkan terganggu oleh berbagai agenda kampanye politik. Pelayanan publik bakal abai, karena struktur pemerintah terutama di wilayah kampanye ikut melebur dalam aktivitas kampanye.

Keempat, polarisasi masyarakat. Bagaimana pun, keterlibatan presiden dalam kampanye dapat meningkatkan polarisasi dan konflik di masyarakat, mengingat kedudukan presiden sebagai figur simbolik.

Sehingga kelompok pendukung dan kontra pemerintah (presiden), akan dengan mudah terpolarisasi, dalam kubu-kubu saling berlawanan, berhadap-hadapan, meningkatkan tensi dan konstelasi politik.

Oleh karena itu, menjaga pemisahan antara fungsi pemerintahan dalam hal ini jabatan presiden dengan kegiatan politik, dapat turut mempertahankan integritas dan efektivitas lembaga pemerintahan (kepresidenan).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *