Presiden Boleh Berkampanye, Salah Kaprah Jokowi

Presiden Boleh Berkampanye
Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Artinya, presiden sebaiknya menjaga netralitasnya dan fokus pada tugas-tugas kenegaraan. Jika ingin mendukung capres tertentu, maka sebaiknya melibatkan diri secara pribadi, dengan mengajukan cuti atau setelah masa jabatannya berakhir, untuk menghindari konflik kepentingan dan menjaga integritas lembaga negara.

Di Amerika Serikat, kiblat kita berdemokrasi, presiden terbiasa menjaga netralitasnya, sehingga terhindar dari mendukung calon presiden tertentu secara terbuka.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Mereka biasanya menunggu hingga akhir masa jabatan sebelum secara aktif terlibat dalam kampanye politik atau memberikan dukungan kepada calon tertentu. Hal ini untuk memastikan posisi kepresidenan tetap independen, tidak terpengaruh oleh pertimbangan politik di masa jabatan.

Sebagai contoh, mantan Presiden AS Barack Obama mematuhi tradisi ini. Setelah menyelesaikan dua masa jabatan sebagai presiden pada 2017, Obama baru aktif mendukung calon dan isu-isu tertentu secara terbuka.

Misalnya, pada pemilu presiden 2020, Obama memberikan dukungan terbuka kepada calon dari Partai Demokrat, Joe Biden, setelah ia tidak lagi menjabat atau ada dalam posisi sebagai presiden.

Hal ini boleh jadi tidak dilarang, atau bukan sesuatu yang tidak diperbolehkan secara hukum, tapi adalah norma, etika dan kebijakan, menjaga independensi jabatan presiden selama masa pemerintahan.

Lagi-lagi ini soal etika, yang oleh kalangan berperadaban maju sering dianggap lebih tinggi daripada hukum karena mencakup pandangan moral dan nilai-nilai yang melebihi kerangka hukum formal.

Etika menuntut keputusan atau sikap (politik) yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral dan kesadaran diri yang tinggi, sementara hukum seringkali hanya terbatas pada peraturan dan sanksi formal.

Etika memberikan pedoman moral yang lebih luas, sedangkan hukum bersifat lebih spesifik dalam menangani pelanggaran tertentu.

Meskipun keduanya saling terkait, etika dapat mencakup dimensi moral yang lebih mendalam dan melibatkan pertimbangan nilai yang lebih komprehensif.

Sejumlah filsuf besar telah mengajarkan atau memberikan pandangan kepada kita, betapa sesungguhnya etika jauh lebih tinggi, dan mestinya menjadi pedoman utama dari penegakan hukum.

Meski, pandangan bahwa “etika lebih tinggi dari hukum” bukanlah konsep yang bersifat konkret atau spesifik, tetapi umumnya menekankan pentingnya moralitas dan nilai-nilai etis yang mendalam ketika seseorang akan pengambilan satu keputusan.

Seperti oleh Immanuel Kant, filsuf Jerman abad ke-18, dengan pandangannya soal etika, yang dikenal sebagai “etika kewajiban” atau “etika deontologis”, yaitu tindakan moral ditegakkan oleh kewajiban dan prinsip moral yang berlaku secara universal.

Kant dalam hal ini menekankan pentingnya “imperatif kategoris,” yaitu aturan moral yang harus atau penting untuk diikuti tanpa tergantung pada konsekuensinya.

Artinya, seseorang harus bertindak sesuai dengan prinsip moral yang dapat diterapkan secara universal, tanpa memandang hasil akhirnya seperti apa.

Dalam konteks itu, pandangan Kant tentang etika tentu mendukung ide bahwa etika lebih tinggi dari hukum, karena kewajiban moral dianggap lebih fundamental daripada ketaatan terhadap peraturan hukum.

Begitu pula oleh filsuf Inggris abad ke-19, John Stuart Mill, lewat karyanya yang berjudul “Utilitarianism” (Utilitarianisme), yang diterbitkan pada 1863.

Mengembangkan gagasan etika utilitarianisme, Mill menekankan bahwa kebaikan moral dapat diukur oleh tingkat kebahagiaan yang dihasilkan oleh suatu tindakan.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *