Manunggaling Jokowi Lan Oligarki

Jokowi Lan Oligarki
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Halim HD (Networker & Organizer Kebudayaan)

Hajinews.co.id – DIA bagaikan meteor yang meluncur disemesta langit kegelapan. Dia juga bagaikan roket yang melesat di angkasa. Dia seperti bintang di subuh hari yang cemerlang. Dia bak tempayan selalu terbuka tutupnya, menampung semua gagasan. Itulah berkah sejarah munculnya Satrio Piningit.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Bayangkan oleh Anda berbagai ungkapan itu terjadi pada suatu obrolan setelah makan malam di depan beberapa warung komunitas tempat kongko, di sebuah meja bundar berisi dua buah asbak dan beberapa botol bir setengah terisi dan beberapa gelas, juga kopi kental dan the nasgitel, dikelilingi oleh beberapa orang yang sedang melepaskan rasa penat dari keseharian.

Tentu saja ungkapan kalimat kalimat itu agak di dramatisir, dan terasa ada nada sinisme yang sambil lalu dilontarkan di antara kepulan asap kretek dan rokok tingwe. Anda jangan bertanya, apakah ungkapan itu benar sebenar benarnya. Saya katakan, ungkapan kalimat itu didramatisir sebagai bagian dari memori yang mencoba memahami lintasan informasi dan opini yang terjadi di dalam masyarakat berkaitan dengan naik panggungnya seorang pebisnis meubel menjadi Wali Kota Solo dan lalu menjadi Gubernur ibu kota Jakarta dan lalu mencalonkan diri sebagai presiden. Obrolan itu sekitar antara 9-10 tahun yang lalu.

Obrolan warung sebagaimana biasanya tak pernah menetap pada suatu kalimat yang dianggap paling sahih. Dia bisa simpang siur seperti angin yang melintasi ruang. Seperti angin juga rasanya letupan ungkapan dengan kalimat dramatis itu ikut menghibur diri: menjadi sinis adalah bagian dari usaha untuk melepaskan kepengapan di antara gelora dan gemuruh massa, manusia gerombolan yang dibekuk rekayasa media sosial melalui para influencer dan buzzer yang dengan intensif dan efektif memberondong dan menjejali seluruh sistem syaraf cerebral cortex, informasi indoktrinatif merasuk ke dalam memori personal menciptakan impian untuk memeluk, menyalami dan jika mungkin sungkem dihadapan sang tokoh.

11111Dalam sejarah modern sosial politik di negeri ini hanya ada dua rezim selalu berusaha  menciptakan dan membentuk citra: Suharto dengan penguasaan dan kontrol kepada semua media yang selalu memberitakan “kesuksesan pembangunan” dari menit ke menit melalui radio dan televisi, sementara media cetakan berbasa basi dengan ulasan yang seolah olah kritis.

Semuanya tentang keberhasilan pembangunan. Yang menarik, demikian juga dengan Jokowi yang tumbuh dan berkembang dalam alam “kebebasan pers” yang dibuka sejak periode Habibie dinikmatinya melalui berbagai pemberitaan. Bahkan kritik itupun justeru membuat dia makin moncer di media sosial. Setiap kritik terhadap program Jokowi selalu ditimpali oleh para buzzer dan inluencer, bahkan masyarakat dengan sukarela menjadi benteng dan pembela Jokowi. Para pengeritik berhadapan dengan gerombolan massa yang dengan ganas bisa membabat dan menumpas semua opini negatif tentang Jokowi.

Saya bukan hanya gelisah, tapi juga cemas oleh tingkah laku politik “kaum sipil” pendukung rezim yang bisa lebih ganas dari represi polisi-militer. Saya jadi teringat pada salah satu periode k1111111111elam tahun 1965-68, suatu rekayasa media mendukung keputusan politik yang bisa  menciptakan kebrutalan atas nama “pembangunan”. Kembali kita bertemu dengan sirkulasi sejarah sosial politik antara Suharto dengan rezim “pembangunan infra struktur” yang disatukan dalam konsep tumbal, korban menjadi syarat bagi “kesuksesan pembangunan”.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *