Gatot Nurmantyo Soal Sikap Jokowi di Pilpres 2024: Ingat, TNI tidak Netral, Negara Hancur!

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.co.id — Sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diduga tidak netral pada Pemilu dan Pilpres 2024, disorot publik.

Bahkan, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo yang lama diam, akhirnya buka suara.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dia tak tahan bungkam soal pernyataan Jokowi beberapa waktu lalu bahwa presiden boleh berkampanye di Pemilu.

Sebagaimana diketahui, Jokowi mengatakan hal itu saat didampingi para petinggi TNI dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.

Menurut Gatot, ujung tombak dari peristiwa itu adalah prinsip para prajurit sendiri.

“Tergantung dia punya prinsip atau tidak. Kalau dia punya prinsip, pasti dia akan menjaga institusinya. Dia tidak mau mengorbankan jati dirinya,” ujar Gatot saat ditemui usai acara diskusi bertajuk Pemilu 2024: Titik Krusial Demokrasi dan Dampak Potensial Kecurangan yang diselenggarakan ICMI, Senin (5/2/2024).

Gatot tak menampik kemungkinan prajurit TNI hendak dimanfaatkan untuk berpihak, baik secara langsung maupun tak langsung.

Namun, jika TNI terkhusus pimpinannya berpegang pada prinsip dan sumpah, maka dia harus mengabaikan perintah keberpihakan tersebut.

“Presiden menggunakan TNI tapi kalau TNI-nya mempunyai prinsip, dia takkan bisa. Karena presiden sebagai kepala pemerintahan dan TNI sebagai alat negara,” kata Gatot.

Gatot pun mewanti-wanti bahwa sekalinya TNI berpihak di Pemilu, maka akan membawa negara pada kehancuran.

“Dia tahu negara ini akan terpecah apabila dalam keberpihakan. Dia tidak akan tinggal diam. Dia harus berbuat agar negara ini enggak pecah. Maka presiden ngomong begitu, dia enggak akan lakukan itu,” katanya.

Sebagai informasi, pernyataan Jokowi mengenai bolehnya Presiden RI berpihak dan berkampanye disampaikan dalam acara penyerahan Alutsista yang dilakukan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto kepada TNI di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu, (24/1/2024).

Menurut Jokowi, hal itu karena setiap orang di negara demokrasi memiliki hak politik.

“Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja,” ujar Jokowi.

“Dia tahu negara ini akan terpecah apabila dalam keberpihakan. Dia tidak akan tinggal diam. Dia harus berbuat agar negara ini enggak pecah. Maka presiden ngomong begitu, dia enggak akan lakukan itu,” katanya.

Sebagai informasi, pernyataan Jokowi mengenai bolehnya Presiden RI berpihak dan berkampanye disampaikan dalam acara penyerahan Alutsista yang dilakukan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto kepada TNI di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu, (24/1/2024).

Menurut Jokowi, hal itu karena setiap orang di negara demokrasi memiliki hak politik.

“Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja,” ujar Jokowi.

Jokowi menlai bahwa Presiden sebagai pejabat boleh berkampanye. Bukan hanya Menteri, bahkan Presiden sekalipun boleh berkampanye.

“Presiden itu boleh loh kampanye, boleh loh memihak. Boleh,” kata Jokowi.

“Boleh, kita ini pejabat publik sekaligus pejabat politik, masa gini gaboleh gitu gaboleh, boleh menteri juga boleh,” katanya lagi.

Kelompok akademisi dan aktivis demokrasi juga menyoroti sikap Jokowi yang di luar nalar.

Menurut mereka, tensi politik Pemilu 2024 semakin tinggi karena adanya dugaan rekayasa hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meloloskan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, jadi cawapres Prabowo di Pilpres 2024.

Lolosnya Gibran sebagai cawapres di Pemilu 2024 juga ikut berdampak pada Anwar Usman yang juga paman Gibran Rakabuming Raka dinonaktifkan dari jabatan Ketua MK.

Demikian pula dengan Ketua KPU Hasyim Asy’ari yang diberikan sanksi berupa teguran keras dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Baik Anwar Usman maupun Hasyim Asy’ari, keduanya terbukti melanggar kode etik yang melekat pada jabatannya.

Menyikapi hal itu, Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gugun El-Guyanie mengatakan rezim Jokowi lebih parah dari rezim Soeharto.

“Kalau Soeharto wajar dia tidak dibatasi oleh konstitusi karena konstitusi sebelum amandemen,” kata Gugun El-Guyanie dalam Diskusi Daring bertajuk Seruan Moral Bergema: Dejavu 98 Apakah Terulang? yang digelar Forum Intelektual Muda, Senin (5/2/2024) malam.

Demikian pula dengan Ketua KPU Hasyim Asy’ari yang diberikan sanksi berupa teguran keras dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Baik Anwar Usman maupun Hasyim Asy’ari, keduanya terbukti melanggar kode etik yang melekat pada jabatannya.

Menyikapi hal itu, Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gugun El-Guyanie mengatakan rezim Jokowi lebih parah dari rezim Soeharto.

“Kalau Soeharto wajar dia tidak dibatasi oleh konstitusi karena konstitusi sebelum amandemen,” kata Gugun El-Guyanie dalam Diskusi Daring bertajuk Seruan Moral Bergema: Dejavu 98 Apakah Terulang? yang digelar Forum Intelektual Muda, Senin (5/2/2024) malam.

“Karena tidak pernah ada batasan, tidak pernah ada norma yang membatasi presiden berapa periode, hanya menyebut presiden dipilih setiap lima tahun sekali. Tapi tidak lupa konstitusi itu membatasi beberapa kali,” lanjutnya.

Sementara Jokowi, lanjut Gugun, karena lahir dari UU pasca amandemen, aturannya tegas bahwa presiden dipilih lima tahun sekali dan tidak dapat dipilih kembali setelah menjabat dua periode.

Namun, Jokowi disebut-sebut mau mengamandemen UUD 1945, menambah jabatan presiden menjadi tiga periode dan terbaru mengabulkan batas usia capres menjadi di bawah 40 tahun bagi kepala daerah yang dipilih melalui Pemilu di MK.

Gugun menegaskan hasrat Jokowi berkuasa melebihi Presiden Soeharto.

Ketua MK Anwar Usman dan Ketua KPU Hasyim Asy’ari yang disidang etik jadi korbannya.

Tak hanya soal Pemilu, Jokowi juga secara nyata telah mengutak atik KPK dengan merevisi UU tentang pemberantasan korupsi.

Padahal, kata dia, KPK adalah salah satu lembaga yang mendapatkan kepercayaan tinggi dari masyarakat.

“Sikap Jokowi ini jelas merusak muruah KPK,” pungkasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Co-Founder Forum Intelektual Muda Muhammad Sutisna mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia diambang kehancuran, akibat segelintir orang.

Mereka berupaya menekan kekuatan rakyat agar tidak mengambil peranan di Pemilu 2024.

Sumber

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *