Namun, kata Mega, etika dan moralitas melekat dalam diri tiap individu, terlepas ada tidaknya persetujuan bersama. Etika dan moralitas berlaku bagi siapa saja, bukan hanya berlaku bagi pihak-pihak yang menyetujui untuk diikat dalam kesepakatan.
Megawati dalam perspektif ini, paham dan mengalami betul, bagaimana prinsip etika dan moral itu sangat penting artinya dalam kehidupan politik.
Anda boleh mengakali aturan formal secara sistematis karena memanfaatkan celah, tetapi Anda tidak bisa mengibuli hati nurani Anda sendiri.
Masalahnya, wilayah jelajah hukum atau aturan formal, adalah penegakan tatanan kehidupan. Sementara wilayah edar prinsip moral dan etika adalah ketaatan batin, kepatuhan hati nurani. Adakah di antara kita yang mampu membohongi hati nurani itu?
Tatkala agenda interview malam itu, menyentuh masalah kebanggan jiwa sebagai bangsa Indonesia, Megawati tersedu-sedu. Ia menangis.
Kebanggan sebagai bangsa telah dipancangkan oleh para pendiri republik, dan mereka telah membayar segala harga untuk kebanggaan tersebut.
Tangis Mega dalam agenda yang sama, telah saya saksikan langsung ketika saya bertandang ke rumahnya, sepekan sebelumnya. Ia juga terisak-isak, membatin. Tiba-tiba saja terjadi kesenyapan ketika itu. Air matanya meleleh, membasahi pipinya.
Saya yakin, air mata Megawati yang meleleh pada saat berbicara tentang kebanggan sebagai bangsa Indonesia yang disaksikan lewat layar kaca, dan yang saya saksikan langsung dari jarak satu setengah meter, adalah air mata ketulusan buat bangsa ini.
Bukan air mata yang dipaksa untuk menghibur penonton, karena Megawati bukan pemain tonil (sandiwara). Ia bukan seorang artis yang ikut dengan skenario sutradara, berpura-pura menangis.