Apa Salahnya “Dirty Vote”?

Apa Salahnya "Dirty Vote"?
Foto: Tangkapan Layar Film Dirty Vote
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Hamid Awaludin – Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

Hajinews.co.id – TIGA anak bangsa, satu judul film, membuat republik geger. Lewat pemaparan mereka: Feri Amsari, Bivitri Susanti, dan Zainal Arifin Mochtar dalam film “Dirty Vote“, kecurangan samar jadi terang benderang.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pat gulipat akhlak culas yang disembunyikan, terkuak jelas. Ketiga anak bangsa tersebut, menghebohkan beberapa hari terakhir ini.

Inilah film yang paling menyedot banyak penonton hanya dalam beberapa hari. Sudah lebih sebelas juta orang menyaksikannya.

Apa yang salah dengan “Dirty Vote” ini?

Setelah dibicarakan banyak orang, pihak yang merasa dirugikan, spontan membuat kegaduhan. Pelbagai tudingan dialamatkan kepada para pelaku, produser dan sutradara film tersebut.

Mereka dituding memiliki motif politik. Maklum, sekarang ini musim politik lantaran menjelang pemilu, terutama pemilihan presiden/wakil presiden.

Cara berpikir kalangan yang protes tersebut, adalah, keadilan dan kebenaran boleh saja ditunda, bahkan dilenyapkan demi menjaga momentum politik. Demi memenangkan pasangan calon tertentu.

Keadilan dan kebenaran, ya, apa boleh buat, tidak memperoleh tempat untuk dibicarakan, apalagi untuk diikhtiarkan.

Segi momentum, justru film ini layak diberi penghargaan karena ia memberi peringatan kepada rakyat Indonesia untuk menyelamatkan demokrasi.

Ia memberitahu kita bahwa kondisi menjelang pemilu, terasa sekali adanya gelagat penguburan demokrasi. Aneka siasat tak bermoral dan tekor akhlah diperagakan untuk mencapai tujuan politik; terpilih menjadi presiden/wakil presiden.

Inilah saat yang terbaik untuk membantu rakyat menggunakan suara hatinya. Ini saat yang paling baik untuk menolong rakyat menunjukkan kedaulatannya bahwa mereka sangat dibutuhkan.

Karena itu, mereka harus menunjukkan taring kedaulatan mereka. Bukan disiasati agar mereka tidak berdaulat.

Lagi pula, bukankah harga yang telah kita bayar untuk menegakkan demokrasi lebih dua dekade silam, sangat mahal? Maka, sebaiknya harga yang dibayar itu kita tebus dengan memelihara demokrasi.

Dalam konteks ini, saya ingin menyampaikan bahwa Yang Mulia Presiden Jokowi, belum memiliki jejak terlibat dalam perjuangan penegakan demokrasi.

Yang Mulia Presiden Jokowi masuk kategori menikmati buah dari demokrasi yang diperjuangkan oleh orang lain. Sebagai penikmat, saya membayangkan, Presiden Jokowi memberi kontribusi untuk merawat demokrasi.

Salahnya di mana?

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *