Dirty Vote, Cawe-Cawe Jokowi, dan Bahaya Penolakan Hasil Pilpres 2024

Dirty Vote dan Cawe-Cawe Jokowi
Denny Indrayana - Guru Besar Hukum Tata Negara, Senior Partner INTEGRITY Law Firm
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Denny Indrayana – Guru Besar Hukum Tata Negara, Senior Partner INTEGRITY Law Firm

Hajinews.co.id – FILM Dirty Vote yang disutradarai Dhandy Laksono, yang diperankan tiga ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar sedang viral serta menjadi perbincangan. Izinkan saya menyampaikan urun rembug, dan ikut mendorong diskusi publik yang lebih mendidik. Paling tidak, tawaran diskusi ini adalah cara saya memberi proteksi terhadap para pelaku pembuatan film tersebut. Karena langkah proteksi dari kriminalisasi, saat ini juga penting, bukan hanya apresiasi, apalagi cacimaki.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dirty Vote, Better Late Than Never

Tentu saja, semua pihak yang terlibat pembuatan film Dirty Vote layak mendapatkan apresiasi, karena memberikan karya yang mendidik publik, diulas dengan cara runtut dan akademik, dan pada momentum yang tepat. Pilihan waktu tayangnya, pada 11 Februari menjelang waktu pencoblosan besok di 14 Februari 2024, tentu saja adalah pilihan strategi marketing. Dengan demikian, perpaduan antara karya apik, para pemain yang kredibel, timing, isu yang seksi, menjadi adonan lezat bagi hadirnya konten social media yang dijamin sukses dan viral. Dari sisi itu, sebenarnya tidak ada yang terlalu mengejutkan dan istimewa dengan Dirty Vote, kecuali tingkat keberanian Dandhy Laksono dan crewnya, serta Bibip, Feri, dan Ucenk—yang maaf—kali ini sedikit di atas rata-rata. Sehingga semestinya perlu ditanggapi lebih cool saja, tidak reaktif, oleh Paslon 02 khususnya.

Kenapa hanya sedikit di atas rata-rata? Karena isu kecurangan—utamanya Pilpres 2024, sekarang sudah luas menjadi perbincangan publik. Dengan intonasi dan diksi yang jauh lebih keras dan lebih pedas. Ambil saja contoh terkini, langkah koalisi LSM yang sedang melaporkan dugaan maladministrasi pembelian pesawat bekas oleh Kementerian Pertahanaan ke Ombudsman, yang hari ini diadukan resmi ke KPK. Potensi bahaya dan serangan balik fisik dan kriminalisasinya, justru lebih besar, karena coverage media dan atensi publiknya tidak sebesar Dirty Vote.

Saya kemarin menelepon sahabat Ucenk, alias Zainal Arifin Mochtar, yang juga Senior Advisor kami di INTEGRITY Law Firm. Saya katakan keyakinan, bahwa mereka akan relatif aman, karena ada public protection. Berita akan ada pelaporan ke Bawaslu dan Kepolisian oleh beberapa elemen pendukung Prabowo-Gibran, justru akan membangun sentimen perlawanan lebih besar—di samping menjadi iklan gratis yang efektif bagi Dirty Vote itu sendiri.

Saya katakan ke Ucenk, saya sendiri telah mengalami beberapa risiko “tikungan tajam” karena melakukan advokasi isu publik. Faktanya, saya tidak seberuntung dia. Sampai saat ini, sudah nyaris 9 tahun saya masih ditersangkakan kasus pembayaran paspor online, buah dari menolak Budi Gunawan sebagai calon Kapolri—meski saat ini yang bersangkutan justru menjadi Kepala BIN terlama. Rekanrekan KPK yang awalnya bersamaan menjadi tersangka, Abraham Samad, Bambang Widjajanto, Novel Baswedan, sudah lama terlepas dari jerat status hukum yang membuat mati perdata tersebut. Saya masih disandera tersangka, entah sampai kapan.

Masih banyak risiko tikungan tajam lainnya, tapi tidak akan diulas di sini, agar fokusnya bukan pada saya. Poinnya, saya meyakini para pegiat Dirty Vote akan tetap aman, sepanjang ada public protection. Sesuatu yang dalam pengalaman saya nyaris langka. Saya katakan nyaris, untuk tetap memberikan apresiasi kepada segelintir sahabat yang telah berkenan menjadi kuasa hukum dan melakukan advokasi dalam beberapa kasus hukum yang saya alami.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *