Tragedi, Lelucon Dinasti Politik

Lelucon Dinasti Politik
ilustrasi: Dinasti Politik jokowi/ist
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Gaudensius Suhardi

Hajinews.co.id – ACANA dinasti politik dalam Pilkada 2024 ibarat mengulangi sejarah. Kata Karl Marx, sejarah selalu mengulang dirinya sendiri. Pertama, sebagai tragedi, dan kedua, sebagai lelucon.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dinasti politik menjadi isu yang menambah pengap atmosfer politik saat ini. Pemicunya ialah masuknya putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, beserta menantunya, Erina Gudono, dalam bursa Pilkada 2024. Baru masuk bursa saja sudah bikin ramai.

Kaesang, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia, disebut-sebut masuk bursa pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Istrinya Kaesang, Erina Gudono, juga sudah masuk dalam bursa pemilihan bupati Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Suami istri itu, jika benar-benar ikut bertarung dalam pilkada yang digelar pada 27 November 2024, bakal tercatat sebagai sejarah kedua dalam diskursus dinasti politik Pesiden Jokowi. Meminjam analogi Karl Marx, sejarah kedua itu sebagai lelucon.

Sejarah pertama pada Pilkada 2020. Ini namanya tragedi dalam pemahaman sejarah ala Karl Marx. Ketika itu anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, memenangi pemilihan Wali Kota Solo. Kemudian menantunya, Bobby Nasution, menang dalam pemilihan Wali Kota Medan.

Pilkada 2020 mencatat rekor sejak pilkada digelar pertama kali pada 2005. Disebut rekor karena Jokowi menjadi satu-satunya presiden sepanjang sejarah Republik Indonesia yang mempunyai anak dan menantu menjabat sebagai kepala daerah.

Rekor bertambah lagi karena Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wapres termuda kendati syarat pencalonannya terpenuhi setelah Mahkamah Konstitusi mengubah aturan. Sejauh ini, Gibran yang mendampingi capres Prabowo Subianto unggul dalam penghitungan cepat berbagai lembaga survei. Adapun Bobby Nasution digadang-gadang masuk bursa pemilihan Gubernur Sumatra Utara.

Harus tegas dikatakan bahwa dinasti politik kian tumbuh subur bersamaan dengan perubahan sikap masyarakat. Pada mulanya masyarakat menolak dinasti politik, lama-kelamaan dianggap lumrah.

International Foundation for Electoral System (IFES) bersama Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan survei pada 2014 untuk mencari pendapat masyarakat Indonesia terkait dengan dinasti politik. Hasilnya, sebanyak 46% responden menganggap dinasti politik dapat berdampak negatif terhadap politik lokal.

Hanya selang sembilan tahun kemudian, pada 2023, ada pergeseran sikap masyarakat. Hasil survei Indikator Politik Indonesia menemukan bahwa mayoritas masyarakat (42,9% responden) menganggap politik dinasti merupakan hal yang biasa.

Kehadiran dinasti politik akibat macetnya kaderisasi dalam menjaring calon kepala daerah yang berkualitas. Partai cenderung bersikap realistis dalam memenangi kontestasi pilkada dengan mendorong sanak keluarga kepala daerah sampai presiden untuk menjadi pejabat publik.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *