Bersatu Kita Teguh: 30 Juz atau Juz 30? (17)

30 Juz atau Juz 30?
Hamdan Juhannis
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Hamdan Juhannis – Rektor UIN Alauddin

Hajinews.co.id – Saya jeda dulu sementara mengulas modal sosial, secara umum. Saya mengajak mencermati modal sosial yang lebih spesifik dan unik, “modal hafalan”, sekaligus sebagai serba-serbi memperingati Nuzul Qur’an. Apa masih ingat bagaimana cara anda mulai belajar membaca al-Qur’an? Guru mengaji saya di kampung membakarkan potongan lembar Qur’an dan abunya dicampur ke air, dan diminum sampai habis.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Saya tidak pernah tanya maksudnya karena saat itu di belum bisa berpikir kritis, tapi yang utama karena takut pada guru mengaji. Guru mengaji wajib ditakuti dan diikuti, karena kalau kurang sopan, tidak dikasih pindah ke bacaan berikutnya, meskipun sudah lancar.

Saya hanya mencoba tahu bahwa itu cara guru mengaji saya untuk memasukkan ayat-ayat Qur’an ke dalam tubuh yang bisa berdampak pada kemampuan mengaji. Karena abu ayat-ayat Qur’an akan menjadi bagian dari darah atau nadi, sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dari Qur’an.

Saya tidak tahu apakah anak mengaji guru kami, yang diberi minum yang bercampur abu kertas Qur’an, semua memiliki kemampuan mengaji yang baik. Susah untuk mencari korelasinya. Namun, saya kemudian menerjemahkan bahwa apa yang dilakukan guru mengaji saat itu adalah sebuah bentuk “ikhtiar”.

Lalu tumbuhlah kami menjadi orang yang memiliki kemampuan mengaji yang berbeda, seiring dengan intensitas kami belajar mengaji. Yang masuk ke pesantren tentu mengajinya lebih bagus. Yang masuk ke lembaga penghafalan, menjadi hafidz. Yang pergi ke sekolah agama, mengajinya rata-rata baik. Yang masuk ke sekolah umum, tetapi rajin mengikuti kajian, bacaannya biasanya lebih tertib. Ada juga sejak tamat dari guru mengaji, tidak pernah lagi mengaji.

Intensitas mengaji kita dari usia muda yang rupanya menentukan berapa jumlah surat yang kita hafal. Hafalan itu menjadi penting, bukan karena kita ingin jadi imam shalat tarwih, atau imam rawatib di masjid, tapi untuk perbekalan saat melakukan shalat lima waktu. Intensitas mengaji kita-lah yang menentukan sehingga ada yang hafal 30 juz dan ada yang hafal juz 30, atau bagian akhir dari juz 30. Dari intensitas inilah yang akan menjadi “modal personal” dan “brand” keagamaan kita, yang berdampak secara kondisional menjadi “modal sosial”.

Muncullah banyak anekdot yang terkait dengan hafalan Qur’an. Salah satu yang umum adalah berikut ini. Tersebutlah seorang ayah mengetes tiga pemuda yang datang melamar anak perempuannya. Ayah ini adalah seorang santri, dan dia harus memastikan bahwa calon menantunya memiliki banyak hafalan.

Singkatnya, dia tanya pemuda pertama. Siapa namamu? Dia menjawab, Ikhlas. Lalu disuruh menghafal surat al-Ikhlas. Pemuda itu dengan percaya dirinya menghafalkan surat pendek tersebut. Lalu pemuda kedua dipanggil, siapa namamu? Nama saya, Kausar. Disuruh menghafal surah al-Kautsar. Dengan tenang pemuda itu menghafal surat terpendek dalam Qur’an. Pemuda yang ketiga keringat dingin, lalu Ayah perempuan itu bertanya mengapa keringat begitu padahal belum ditanya. Siapa namamu? Pemuda ketiga itu menjawab, nama saya Yasin, tetapi teman-teman memanggil saya: Kulhu.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *