Menerka Arah Pengguliran Hak Angket

Arah Pengguliran Hak Angket
Demo hak angket
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Kahfi Adlan Hafiz – peneliti Perludem

Hajinews.co.id – Rapat Paripurna DPR pertama pascapemilu beberapa waktu lalu membuka wacana pengusulan hak angket. Beberapa partai pendukung paslon Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud seperti PDIP, PKS, dan PKB, membuka kemungkinan hak angket untuk menyelidiki penyelenggaraan pemilu

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Wacana hak angket ini didasari oleh ragam dugaan kecurangan saat Pemilu 2024, dari proses pencalonan hingga proses pungut-hitung suara. Yang paling monumental, tentu Putusan MK 90/2023 yang problematik dan mengabaikan etik. Putusan ini seolah memulai konflik kepentingan negara dalam pemilu dan bermuara pada penyalahgunaan sumber daya negara.

Menarik untuk melihat apakah hak angket akan berhasil mengevaluasi Pemilu 2024? Atau yang lebih fundamental, dengan konstelasi politik terkini, apakah DPR dapat betul-betul mengaktifkan hak angket?

Catatan Krusial Pemilu 2024

Film Dirty Vote produksi Watchdoc menggambarkan jelas kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif. Dokumenter ini memutar ulang memori kecurangan pemilu, yang dimulai dari Putusan MK 90/2023.

Putusan MK tersebut menambah alternatif syarat minimal usia capres, sehingga Gibran Rakabuming, putra sulung Presiden Jokowi, dapat melaju dalam Pilpres 2024. Tentu tak mengejutkan, sebab Mahkamah Konstitusi dari awal telah terjebak konflik kepentingan pasca Ketua MK, Anwar Usman menolak mundur setelah ia menjadi ipar Presiden.

Setelahnya, ketakutan akan nepotisme dan favoritisme dalam pemilu semakin besar. Terlihat dari fenomena politik gentong babi (pork-barrel) yang mengkanalisasi sumber daya negara untuk memenangkan paslon tertentu. Hal ini terlihat dari peningkatan dana bantuan sosial, utak-atik jadwal penyaluran BLT, hingga politisasi perangkat desa dan penjabat kepala daerah.

Selain itu, penyelenggara pemilu gagal menjaga profesionalisme dan integritasnya. Misalnya ketika dugaan manipulasi data parpol saat proses verifikasi faktual partai politik di SIPOL menyeruak. Atau yang lebih parah, KPU mengabaikan Putusan MA yang membatalkan ketentuan soal keterwakilan perempuan di PKPU 10/2023 dan membiarkan partai yang melanggar lolos tanpa hukuman.

Kompleksitas format pemilu juga harus dievaluasi. Pemilu serentak yang menggabungkan Pemilihan Presiden, DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota, dan DPD, telah menyebabkan kerumitan manajemen pemilu. Hal ini mengakibatkan kebingungan di kalangan pemilih dan menambah beban kerja petugas ad hoc.

Konstelasi Politik

Dugaan kecurangan pemilu harus diusut tuntas demi mengembalikan kepercayaan dan legitimasi publik. Bawaslu sebagai lembaga berwenang dirasa gagal dalam menjawab tantangan tersebut. Diperlukan upaya ‘luar biasa’ yang konstitusional. Salah satunya mengaktifkan hak angket.

Dalam UU MD3, DPR dapat mengaktifkan hak angket untuk menyelidiki pelaksanaan undang-undang/kebijakan yang strategis dan berdampak luas. Hak angket harus diusulkan oleh minimal 25 anggota DPR dan disetujui lebih dari setengah jumlah Anggota DPR.

Isu hak angket sendiri muncul dari beberapa partai koalisi pengusung paslon Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Bila melihat peta kursi di DPR, gabungan partai dari dua koalisi memiliki setidaknya 314 kursi atau 54,6% kursi di DPR. Artinya, peluang mengusulkan dan mengaktifkan hak angket untuk menginvestigasi Pemilu 2024 cukup besar.

Namun, pengaktifan hak angket tak sekadar formasi partai pengusung capres. Sampai dimulainya proses sengketa pemilu di MK, usulan hak angket masih belum muncul di DPR. Partai-partai masih tampak membaca situasi, sebab hak angket menentukan posisi mereka selama lima tahun ke depan, menjadi oposisi atau terjebak politik ‘dagang sapi’.

Sikap ini tak mengejutkan, rendahnya ideologisasi dan institusionalisasi partai menyebabkan partai tak punya posisi yang jelas. Wolinetz (2002) mengklasifikasikan partai dalam tiga jenis, vote-seeking, office-seeking, dan policy-seeking, yang diukur berdasarkan karakter debat kebijakan internal partai dan konsistensi asumsi posisi.

Dengan menggunakan pengukuran tersebut, mayoritas partai terklasifikasi sebagai pencari jabatan atau pengumpul suara. Misalnya dalam karakter debat, pengambilan kebijakan di mayoritas partai terbatas pada elite. Begitu pula dengan asumsi posisi, partai cenderung tidak konsisten dan tergantung arah pimpinan. Hal ini dapat terlihat dari formasi koalisi hasil Pemilu 2014, 2019, dan 2024.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *