Membaca Manuver Nasdem dan PKB

Manuver Nasdem dan PKB
Manuver Nasdem dan PKB. Foto: liputan6
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: H. Agus Sutisna, Dosen dan Peneliti FISIP Universitas Muhammadiyah Tangerang, Founder Yayasan Podiumm Pesantren Nurul Madany Cipanas Lebak

Hajinews.co.id – Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan PHPU Pilpres 2024 konstelasi politik nasional berubah lumayan cepat. Diawali dengan penerimaan dan sikap hormat atas putusan MK oleh dua kubu Paslon penggugat yang disertai ucapan selamat. Hingga ke pernyataan kesiapan dan bakal bergabungnya Nasdem dan PKB, dua parpol pengusung Anies-Muhaimin, ke kubu pemerintahan yang kelak bakal dipimpin Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Sikap menerima dan menghormati putusan MK dari Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud tentu patut diapresiasi. Ini menunjukan sportifitas politik dan barangkali juga sikap kenegarawanan mereka. Meski dalam narasi penerimaan dan penghormatan itu tetap saja tersurat dengan jelas kekecewaan atas proses demokrasi elektoral yang didahului dengan pelanggaran etik serta diwarnai oleh berbagai indikasi kecurangan, yang oleh MK kemudian justru dinilai tidak beralasan menurut hukum dan/atau tidak terbukti secara hukum.

Tetapi berbeda dengan sikap kedua Paslon Capres-Cawapresnya, didalam perubahan sikap politik Nasdem dan PKB (mungkin juga segera menyusul PPP, dan PKS?) hemat saya ada motif sekaligus faktor khas kepolitikan selain (mungkin juga) upaya untuk menunjukan kebesaran jiwa dalam kerangka kontestasi politik dan sikap kenegarawanan dalam konteks politik kebangsaan.

Kedua hal itu, motif dan faktor kepolitikan menjadi jembatan penghubung bertemunya kepentingan masing-masing pihak. Yakni pihak Prabowo Subianto sebagai Capres terpilih di satu sisi dengan pihak Nasdem-Paloh dan PKB-Muhaimin.

Pragmatisme Politik

Motif sekaligus faktor pertama dari perubahan cepat sikap politik Nasdem-Paloh dan PKB-Muhaimin adalah menyangkut soal watak pada umumnya para politisi kita yang pragmatis. Jika politik dan dalam berpolitik dipercaya memiliki nilai yang harus diperjuangkan, maka pragmatisme inilah nilai tertinggi yang memahkotai perjuangan itu.

Pragmatisme politik atau politik pragmatis dalam konteks diskusi ini secara sederhana dapat dimaknai sebagai sikap dan cara berpolitik yang lebih mengedepankan pertimbangan-pertimbangan “kemanfaatan, kegunaan, atau keuntungan” yang bersifat personal atau kelompok dari suatu pilihan sikap dan tindakan politik.

Pragmatisme politik adalah lawan dari idealisme politik. Para elit yang berwatak pragmatis menjadikan politik sebagai sarana untuk semata-mata menarget dan mencapai tujuan-tujuan pribadi atau kelompok. Bisa kekuasaan, jabatan, kedudukan, kekayaan, popularitas dan aspek-aspek lain yang setara dengan ini.

Untuk mewujudkan target-target tujuan personal dan kelompoknya cara apapun bisa mereka lakukan. Termasuk yang berkarakter Machiavellian sekalipun, menganggap segala cara menjadi halal. Mereka berpolitik tanpa landasan moral dan etik, mengesampingkan integritas. Dalam kasus Nasdem dan PKB tentu saja termasuk melupakan dengan gampang jutaan suara pemilih yang menginginkan perubahan.

Pilpres sudah selesai. Nasdem dan PKB berada di kubu koalisi yang kalah. Kekalahan adalah kehilangan segalanya, kecuali idealisme dan spirit memperjuangkannya tanpa henti. Tapi sekali lagi, dalam pikiran elit-elit pragmatik, idealisme adalah omong kosong. Bertahan di sisinya adalah sikap yang tidak realistis, tidak akan menghasilkan apapun yang dibutuhkan untuk menjaga kehormatan dan kedigdayaan politik pribadi maupun kelompoknya.

Maka pilihannya tinggal satu: segera bergabung kedalam kubu yang bakal memerintah dan diendors rezim yang kemarin-kemarin dikritisinya habis-habisan di musim kampanye. Dengan cara demikian, setidaknya satu dua kursi jabatan menteri di Kabinet bisa diraih.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *