Haji itu Miniatur Kehidupan Manusia

Haji itu Miniatur Kehidupan Manusia
Ibadah Haji
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Di saat menjalankan ibadah haji, dzikir dan tasbih maupun tahlil dan takbir menjadi amalan dominan. Semua amalan ini menjadi esensi ubudiyah kita kepada Allah SWT.

Dari semua itu dapat kita simpulkan bahwa haji itu merupakan kesimpulan semua ibadah dalam Islam. Dengan berhaji berarti seorang Muslim memilki tekad penuh untuk melaksanakan semua kewajiban ibadahnya kepada Allah SWT.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kedua, haji itu merupakan gambaran kecil (miniatur) kehidupan manusia. Segenap amalan haji itu menggambarkan “perputaran hidup” (cicle of life) dari sejak terlahir pertama kali hingga akhir hidup dunia dengan kematian.

Manusia semuanya tanpa kecuali terlahir dalam keadaan suci (fitri). “Semua anak terlahir dalam keadaan fitrah “Semua anak terlahir dalam keadaan suci” (Hadits).

Kefitrahan inilah yang tersimbolkan dalam amalan awal dari haji dengan ihram. Fitrah itu essensinya pada pengakuan “alastu bi Rabbikum? Qaaluu balaa”. Ikrar tauhid untuk menyembah hanya kepada sang Pencipta. Ihram dengan “talbiyah” esensinya juga merupakan afirmasi “tauhid” seperti yang disebutkan terdahulu.

Hidup manusia itu berputar. Tidak pernah statis dan terus dalam pergerakan. Gerakan dan perubahan sejatinya menjadi tabiat (nature) kehidupan. Karenanya akan terjadi gerakan atau perubahan hidup terus menerus. Bahkan pada diri manusia sekalipun. Perubahan dari bayi menjadi remaja, dewasa, tua dan mati.

Tawaf itu adalah pergerakan mengelilingi Ka’bah. Gerakan yang terjadi terus menerus mengikut arah yang telah ditentukan. Hidup adalah tawaf. Berputar dalam hidup secara konstan (terus menerus). Tapi satu hal yang harus diingat. Dinamika apapun yang terjadi di saat thawaf, jangan lupa Ka’bah harus tetap menjadi “sentra” perputaran itu. Dalam dinamika hidup jangan lupa Allah tetap menjadi “pusat” kehidupan (as-somad).

Hidup dunia itu adalah berusaha (sa’aa). Tiada yang didapatkan kecuali dengan usaha. Berbeda dengan akhirat yang semuanya adalah hasil. Kerja baik hasilnya baik. Sebaliknya kerja buruk juga hasilnya buruk.

Tapi satu hal yang harus diingat di saat melakukan usaha. Berusaha tidak berarti menentukan hasil. Apapun dan sehebat apapun usaha kita, yang menentukan hasil akhirnya adalah Dia yang mengatur (al-Mudabbir) langit dan bumi.

Itulah yang terjadi dalam sejarah Ibu Ismail, Hajar AS. Beliau berlari mencari air, bahkan dari bukit ke bukit lainnya. Usahanya berhasil. Karena upaya positif pasti hasilnya positif pula. Tapi hasil hasil itu Allah yang menenukannya.

Wukuf (berhenti sejenak) adalah bentuk refocusing dan rediscovering diri kita sebagai manusia. Dalam proses menemukan diri itu kita akan menemukan kembali Allah, memahami kembali makna tauhid dalam hidup.

Demikian seterusnya, mabit di Muzdalifah dan Mina merepresentasi pertarungan abadi antara manusia dan musuhnya (Iblis). Muzdalifah mengajarkan bahwa pertarungan ini memerlukan persiapan lahir batin. Dilanjutkan dengan pertarungan itu, yang dimulai dengan memerangi musuh terbesar (Jumrah aqabah).

Semua amalan ritual haji itu yang berakhir dengan tawaf wada’ sebagai simbolisasi komitmen untuk mengakhiri hidup dunia ini dengan “husnul khatimah”. Meninggalkan kehidupan duniawi ini dengan komitmen ubudiyah di atas “laa ilaaha illallah”.

Semua ini menggambarkan bahwa ibadah haji merupakan gambaran kecil atau miniatur hidup manusia secara menyeluruh. Melaksanakan ibadah haji ibarat melakukan pelatihan hidup secara menyeluruh, dari kelahiran hingga kematian.

Ketiga, haji itu merupakan ekspresi globalitas atau universalitas Islam. Hal yang pasti adalah ekspresi “perintah” haji dalam Al-Quran selalu memakai kata “an-naas” (manusia) dan bukan “Mukminuun” atau “Muslimun”.

“Dan kamandangkan kepada manusia tentang kewajiban haji, nuscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan dan mengendarai onta-onta jinak (dhoomir). Mereka datang dari pelosok-pelosok yang jauh” (Al-Quran).

“Dan bagi Allah atas manusia melakukan ibadah haji ke Baitullah bagi yang mampu melakukannya” (Al-Quran).

Penggunaan kata “an-naas” menunjukkan bahwa haji merupakan ekspresi universalitas Islam yang tegas. Maka pada haji itulah akan tergambar umat Muhammad SAW sebagai global citizen (penduduk global). Semua bentuk manusia dalam keragamannya hadir menyatu sebagai satu kesatuan (ummah wahidah).

Ada tiga makna penting dari simbolisasi ini. Satu, bahwa haji menggambarkan “equalitas” sejati. Karenanya di tanah suci semua malakukan hal sama dengan perasaan yang sama. Datang sebagai Muslim dan hamba Yang Maha Satu. Maka sangat wajar deklarasi kesetaraan manusia didengunkan pertama kali di Padang Arafah oleh Baginda Rasulullah SAW dan di saat melaksanakan haji. Deklarasi ini dikenal dalam sejarah Islam dengan “Khutbatul Wada’”.

Makna kedua dari pemaknaan globalitas ini adalah bahwa Islam sangat menjunjung tinggi kemanusiaan itu. Dan karenanya ketika menggambarkan “kemuliaan” (karomah) manusia, Allah menekankan aspek insaniyah “Sungguh Kami (Allah) telah muliakan anak cucu Adam”.

Demikian pula Islam menekankan kekeluargaan universal manusia: “Wahai manusia sesungguhnya Kami mencipatakan kamu dari seorang pria dan seorang wanita, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Sesungguhnya yang termulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa….” (Al-Quran).

Ekspresi globalitas Islam ini sekaligus menampik perasaan lebih Islami oleh sebagian pengikutnya karena defenisi ras atau bangsa. Islam memberikan ruang kepada semua pengikutnya untuk menjadi terbaik. Tidak menutup kemungkinan seorang China Muslim akan lebih Islami dibandingkan seorang Arab Muslim.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *