Moneter dan Fiskal ‘Babak Belur’, Krisis Ekonomi Semakin Dekat

Moneter dan Fiskal ‘Babak Belur’
Grafik Kurs Rupiah


banner 800x800

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Hajinews.co.id – Fundamental ekonomi Indonesia semakin memburuk di masa Pemerintahan Jokowi. Semakin rapuh. Kondisi moneter dan fiskal semakin ‘babak belur’. Kurs rupiah di pasar spot sudah tembus Rp16.300 per dolar AS pada 5/6/2024. ‘Doping’ alias intervensi untuk mempertahankan kurs rupiah sejauh ini gagal total.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Bank Indonesia bahkan harus mengorbankan diri, ‘menyimpang’ dari tugas pokok Bank Sentral. Bank Indonesia difungsikan sebagai mesin baru pencetak utang luar negeri, melalui penerbitan surat utang (obligasi) Bank Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, tiga jenis surat utang sekaligus: SRBI (Sertifikat Rupiah Bank Indonesia), SVBI (Sekuritas Valuta Asing Bank Indonesia), dan SUVBI (Sukuk Valuta Asing Bank Indonesia)

Bank Indonesia yakin penerbitan surat utang Bank Indonesia dapat menarik investor asing untuk memperkuat kurs rupiah. Ternyata hanya ilusi. Gagal.

https://www.antaranews.com/berita/3719289/bi-pastikan-implementasi-srbi-akan-buat-nilai-tukar-rupiah-terjaga

Cadangan devisa selama periode Januari-April 2024 sudah terkuras 10,2 miliar dolar AS, dari 146,4 miliar dolar AS per akhir Desember 2023 menjadi 136,2 miliar dolar AS per akhir April 2024.

Kementerian Keuangan juga sangat resah. Kenaikan kurs dolar akan berdampak buruk bagi fiskal dan daya beli masyarakat. Beban bunga utang pemerintah akan melonjak. Subsidi yang berhubungan dengan mata uang dolar, seperti BBM, elpiji, listrik, pupuk, juga akan membengkak. Harga bahan pokok asal impor akan naik, seperti tahu, tempe, daging.

Kementerian Keuangan mulai ‘menjajakan’ kembali surat utang negara ke luar negeri, dimulai dari Jepang. Awal Mei 2024, Kementerian Keuangan menerbitkan Samurai bond, hanya dapat 200 miliar yen, atau sekitar 1,25 miliar dolar AS saja. Jumlah ini sangat kecil untuk bisa ‘doping’ atau intervensi kurs rupiah, yang hanya menguat sedikit menjadi Rp15.920 per dolar AS pada 16 mei 2024. Setelah itu, kurs rupiah merosot lagi, dan tembus Rp16.300.

https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/37827/cari-utang-sampai-ke-jepang-pemerintah-mulai-jual-samurai-bond

Seiring dengan terpuruknya moneter, kondisi fiskal (APBN) juga sangat memprihatinkan. Penerimaan perpajakan (yaitu pajak, bea dan cukai) turun 8 persen selama Januari-April 2024 dibandingkan periode sama 2023. Padahal, menurut APBN 2024, penerimaan perpajakan dianggarkan naik 7,2 persen. Artinya, penerimaan negara dari perpajakan bisa shortfall 15 sampai 20 persen. Gawat.

Penerimaan perpajakan selama 4 bulan pertama 2024 hanya Rp719,90 triliun, atau turun Rp62,76 triliun dibandingkan 2023 yang mencapai Rp782,66 triliun. Diperkirakan, tren penurunan penerimaan perpajakan akan berlanjut, sehingga bisa memicu krisis fiskal. Rasio pajak akan turun, diperkirakan hanya maksimal 9,5 persen dari PDB. Lebih rendah dari rasio pajak sebelum pandemi, 2019, yang mencapai 9,8 persen.

Kondisi fiskal memang sudah sangat rentan sebelum pandemi covid-19. Ekonomi Indonesia ketika itu hanya diselamatkan oleh pandemi yang membuat harga komoditas melonjak sejak pertengahan 2020, akibat kebijakan moneter global yang bersifat inflationary, yaitu kebijakan suku bunga (mendekati) nol persen, dengan kombinasi monetary financing, yaitu pembiayaan defisit anggaran melalui quantitative easing, atau bahasa awamnya adalah cetak uang.

Lonjakan harga komoditas bagaikan durian runtuh bagi Indonesia. Fundamental ekonomi dan ekspor yang masih sangat mengandalkan sektor komoditas pertambangan dan perkebunan mendapat keuntungan berlimpah. Tetapi, ironinya, yang mendapat keuntungan berlimpah tersebut hanya pengusaha tambang dan perkebunan, dan tentu saja pemerintah.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *