Peta Jalan Memahami Islam

Dr. Mohammad Nasih
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. Mohammad Nasih
Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidh al-Qur’an Darun Nashihah Monash Institute, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ. Redaktur Ahli Hajinews.Id

Islam dalam arti generiknya adalah menundukkan dan memasrahkan diri kepada Allah. Dalam konteks ini, seluruh nabi dan rasul mengajarkannya. Namun, sebagai sebuah formalitas untuk mengidentifikasi sebuah entitas ummat, setelah kerasulan Muhammad, Islam kemudian dipahami sebagai agama yang dibawa olehnya untuk menyempurnakan agama-agama sebelumnya, di antaranya Nashrani dan Yahudi.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Ajaran-ajaran Islam terkumpul secara lengkap di dalam dua sumber utama, yaitu al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad. Sebagaimana al-Qur’an yang kemudian dikompilasi secara lengkap pertama kali pada era kepemimpinan Abu Bakar, sunnah Nabi kemudian juga dikompilasi oleh para ulama’ hadits. Di antaranya yang sangat terkenal adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Nasa’i, Imam Tirmidzi, dan Imam Abu Daud. Runtutan kehidupan Nabi juga ditulis oleh para ilmuan muslim, sehingga Islam memiliki khazanah pengetahuan tentang perjalanan hidup Nabi yang dengannya al-Qur’an dan hadits Nabi bisa dipahami secara kontekstual.

Karena itu, untuk bisa memahami Islam dengan memadai, maka diperlukan pemahaman yang baik kepada semuanya itu. Dan untuk itu, ada empat langkah awal fundamental yang harus dilakukan, yaitu menguasai bahasa Arab, hafal al-Qur’an dan hadits, mempelajari cara berpikir (logika, manthiq), dan menguasai sirah nabawiyyah.

Pertama, mempelajari bahasa Arab. Menguasai bahasa Arab menjadi langkah paling awal yang harus dilakukan karena Islam turun di Arab dengan konsekuensi kitab suci al-Qur’an dan hadits menggunakan bahasa Arab.

Sedangkan terjemahan dari bahasa apa pun ke bahasa lain apa pun juga tidak pernah mampu mengungkapkan makna secara sempurna. Bahkan, lebih dari itu, bisa menyebabkan tidak hanya distorsi dan pembelokan makna yang bisa berkonsekuensi pada pembelokan atau bahkan pembalikan maksud. Sekedar bukti aktual adalah terjemahan Depag RI kini kembali dievaluasi karena dianggap terdapat ribuan kata yang diterjemahkan secara tidak tepat. Perlu ditekankan di sini bahwa bukan al-Qur’annya yang salah, melainkan terjemahannya yang tidak tepat, sehingga dianggap bisa membuat maksud yang sesungguhnya tidak tertangkap.

Padahal terjemahan-terjemahan al-Qur’an itu biasanya sudah dilakukan dengan cara kerja yang sangat ketat dengan melibatkan para ahli yang melakukannya secara kolektif untuk menemukan kata terjemahan yang paling akurat. Apalagi penerjemahan hadits yang secara umum dilakukan secara longgar.

Dengan menguasai bahasa Arab, maka jika pun terjadi penerjemahan atau pemahaman yang pada satu waktu kurang tepat, tetapi seiring berjalannya waktu dan ada penambahan cakrawala, maka pemahaman akan menjadi lebih baik dan semakin dekat kepada maksud Allah.

Bahasa Arab dalam konteks ini menjadi alat untuk menangkap makna setiap kata, frase, dan kalimat yang ada di dalam al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad. Karena itu, bahasa Arab di dunia pesantren sering disebut sebagai ilmu alat. Sebab, bahasalah yang menjadi alat untuk menangkap makna di dalam al-Qur’an dan hadits, juga kitab-kitab lainnya yang menggunakan bahasa Arab (baca: kitab kuning).

Keduanya, ibarat lautan yang di dalamnya terdapat berbagai macam ikan yang sangat diperlukan untuk keperluan gizi bagi manusia. Namun, tentu saja tidak mudah untuk menangkap di samudra yang luas. Karena itu, diperlukan alat tangkap yang tepat, mulai dari pancing, jaring, jala, atau yang lainnya untuk menangkap ikan-ikan itu. Usaha untuk menangkap ikan di lautan yang luas, tanpa menggunakan alat-alat yang memadai, hanya akan menyebabkan kelelahan yang luar biasa, membuang waktu secara sia-sia, tanpa hasil sama sekali, sehingga pada akhirnya menyebabkan rasa putus asa, lalu pulang dengan tangan hampa.

Itulah gambaran orang yang datang ke majlis ilmu, baik pesantren maupun forum-forum kajian Islam, tetapi tidak menguasai bahasa Arab, maka ilmu-ilmu yang disampaikan akan masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Jika pun pernah mengisi ingatan, itu tidak akan bertahan lama, karena tidak ada pengikatnya. Ibarat batterai yang rusak, walau pun diisi, maka daya yang dimasukkan dengan cara mencharge tidak akan optimal, dan dalam waktu yang relatif singkat, daya yang telah masuk itu akan hilang sama sekali.

Karena itu, siapa pun yang hendak serius memahami Islam, harus menguasai dengan baik bahasa Arab. Adalah tidak mungkin memahami Islam, yang dua sumber utamanya menggunakan bahasa Arab, tetapi tidak menguasai bahasa Arab.

Kedua, menghafalkan al-Qur’an dan hadits. Al-Qur’an terdiri atas 114 surat, dan keseluruhan ayatnya berjumlah 6.236 ayat. Banyak sekali di antara ribuan ayat tersebut yang memiliki koneksi. Interkoneksi itu harus dirasakan, untuk memperolah pemahaman yang benar. Interkoneksi itu bisa ditangkap dengan kesamaan kata, kesamaan frase, atau kesamaan makna (sinonim) atau maksud, walaupun digunakan kata yang berbeda.

Dua yang terakhir inilah yang tidak akan mampu ditangkap oleh perangkat komputer yang didesain secerdas apa pun. Akal sehat dan jernih manusia sajalah yang akan mampu memahaminya. Di antara contohnya adalah sebuah hadits yang di dalamnya terdapat pengajaran Rasulullah kepada para sahabat tentang cara memahami al-Qur’an:

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami al-A’masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman. (Al-An’am: 82) Maka hal ini terasa berat oleh mereka (para sahabat).

Lalu mereka berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak pernah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri?” Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya hal itu bukan seperti apa yang kalian maksudkan. Tidakkah kalian mendengar apa yang telah dikatakan oleh seorang hamba yang saleh (Luqman), “Hai anakku, janganlah kalian mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar” (Luqman: 13).

Hadits tersebut memberikan gambaran yang sangat nyata, bahwa terdapat interkoneksi antara ayat yang terdapat di dalam al-An’aam: 82 dengan Luqman: 13 yang sebelumnya tidak dipahami oleh para sahabat. Lalu Nabi memberikan penjelasan tentang interkoneksi antara keduanya, sehingga mereka menjadi tepat memahami ayat tersebut.

Ketiga, mempelajari cara berpikir (logika, manthiq). Berpikir yang lurus sangat penting untuk memahani al-Qur’an. Karena itulah, akal yang sehat menjadi salah satu prasyarat menjadi mukallaf. Orang gila tidak dibebani syari’at. Contoh di atas sesungguhnya juga menunjukkan bahwa logika sangat penting. Sebab, di dalam al-Qur’an banyak sekali logika-logika yang hanya bisa ditangkap oleh orang yang berpikir lurus.

Logika yang bisa ditarik dari contoh al-An’am: 82 di atas adalah “Orang-orang yang beriman, dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedhaliman (syirik), maka mereka akan mendapatkan keamanan dan petunjuk” adalah “Orang yang beriman kepada Allah, tetapi menyekutukannya, maka dia tidak aman dan tidak mendapatkan petunjuk, alias sesat”.

Contoh lain adalah “Barang siapa menjadikan selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima, dan di akhirat akan termasuk orang-orang yang merugi” (Ali Imran: 85). Logika yang bisa ditarik adalah “Orang yang menjadikan Islam sebagai agama, maka akan diterima” dan “Bisa saja di dunia untung, tetapi di akhirat pasti rugi. Logika frase ini sangat penting, agar manusia tidak tertepi oleh penampakan luar orang-orang kafir, seolah-olah mereka adalah orang-orang yang sukses di dunia. Walaupun di dunia mereka mendapatkan kesuksesan dan keberuntungan, tetapi di akhirat kelak, mereka akan mengalami kerugian, karena bahkan amal-amal baik mereka tidak diterima oleh Allah, dianggap sebagai sekedar fatamorgana sana. (al-Nur: 39).

Keempat, mempelajari sirah nabawiyah. Perjalanan hidup Nabi ini juga sangat penting, untuk mengetahui konteks-konteks saat al-Qur’an diturunkan (asbab al-nuzul) dan perkataan, tindakan, dan taqrir Nabi Muhammad (asbaabu wuruud al-hadiits).

Tanpa memahami konteks-konteks itu, maka akan terjadi banyak kekeliruan dalam menangkap pesan yang ada di dalam al-Qur’an dan hadits. Misal di dalam al-Qur’an adalah ayat: “Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 158).

Di dalam ayat tersebut, terdapat frase “maka tidak ada dosa”. Logikanya, berarti hukumnya boleh. Padahal hukum sa’i adalah wajib. Dari sejarah, diketahui bahwa pada saat itu terdapat banyak berhala di antara Shafa dan Marwah, sehingga membuat para sahabat khawatir terjatuh ke dalam perilaku syirk. Kekhawatiran itulah yang menjadi sebab ayat tersebut turun.

Sedangkan di antara contoh yang terdapat di dalam hadits adalah sabda Nabi Muhammad: “Kalau kalian akan buang air besar atau kecil, jangan menghadap kiblat dan jangan membelakanginya akan tetapi (hadapkan) ke timur atau ke barat.” (HR. Bukhori dan Muslim). Jika ini dipahami oleh orang Indonesia, tentu akan menyebabkan sedikit kebingungan. Sebab, justru di sini, tidak sebaiknya tidak menghadap ke timur atau barat. Sebab, posisi Ka’bah yang menjadi qiblat umat Islam ada di sebelah barat. Dengan mengetahui sirah nabawiyah, akan didapatkan pemahaman bahwa saat itu Nabi berda di Madinah yang secara geografis berada di sebelah utara Makkah.

Semua itu menunjukkan bahwa memahami Islam hanya akan bisa dilakukan dengan menapaki peta jalan yang tepat. Jika tidak demikian, maka terutama di tengah-tengah banyak wacana yang bercampur baur, yang akan terjadi adalah kebingungan. Sebab, tidak mendapatkan pemahaman secara langsung dari sumbernya yang paling otoritatif, yakni al-Qur’an dan hadits.

Tentu tidak hanya empat langkah itu, tetapi masih banyak yang lain, untuk bisa memahami Islam secara lebih bulat nan utuh. Walaahu a’lam bi al-shawab.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *