Heboh, Ketika Agen Intelijen AS Mata-matai Warganya Sendiri

Assia Boundaoui, Dr. Kameelah Rashad dan Omar Farah ketika diwawancara Aljazeera
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina




Oleh: Nasmay L. Anas

SEBUAH film dokumenter yang baru saja dirilis bikin heboh di Amerika. Berjudul “The Feeling of Being Watched” (Perasaan sebagai Orang yang Selalu Diinteli) membuka kedok agen-agen intelijen Amerika, the Federal Bureau of Investigation (FBI) yang selalu memata-matai warga negaranya sendiri.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Setelah disiarkan secara luas oleh jaringan televisi Aljazeera, Rabu 23 Oktober 2019, karuan saja masalah ini jadi viral di media sosial Amerika. Beberapa media mainstream seperti the New York Times pun ikut menyiarkan berita ini. Apalagi Aljazeera tidak hanya menayangkan film dokumenter ini, tapi juga mewawancarai Assia Boundaoui. Sutradara sekaligus produsernya. Yang mengaku merasa tidak nyaman sebagai warga Amerika yang selalu dimata-matai pihak keamanan, sejak usianya baru 13 tahun.

Dalam talkshow the Stream, Aljazeera tidak hanya melakukan wawancara dengan Assia Boundaoui, tapi juga dengan beberapa narasumber yang berkompeten lainnya. Dalam talkshow yang bertajuk: Is the US government unfairly spying on Muslim Americans? (Apakah Pemerintah Amerika Secara Tidak Fair Memata-matai Warga Muslim Amerika?), Aljazeera juga menghadirkan Dr. Kameelah Rashad, pendiri sekaligus President of Muslim Wellness Foundation dan Omar Farah, seorang pengacara senior dari the Center for Constitutional Rights.

Dalam film “The Feeling of Being Watched,” yang juga diikutkan dalam the Tribeca Film Festival di New York, minggu ini, Boundoui mengungkapkan hasil penelitiannya. Dengan keberhasilannya membongkar puluhan ribu dokumen FBI. Yaitu dokumen-dokumen yang membuktikan bahwa kawasan tempat tinggalnya di Bridgeview, Illinois, memang jadi sasaran kegitan intelijen FBI. Salah satu bentuk penyelidikan kontra-terorisme berskala besar yang tidak henti digencarkan pemerintah Amerika.

Kepada Aljazeera, Boundaoui bercerita. Sekitar bulan Juni 1998, ia masih berusia 13 tahun. Ketika dia bersama orang tuanya pulang dari belanja, dia melihat agen-agen FBI memaksa membuka pintu di sebuah rumah tetangganya. Lalu para agen intelijen itu membawa beberapa benda milik Mohammed Salah. Tetangga yang tinggal satu lantai di atas tempat tinggalnya.

Konon, pada 1993, Salah yang warga Amerika keturunan Palestina pernah ditangkap tentara Israel. Waktu itu, dia sedang melakukan kegiatan misi kemanusiaan ke Gaza. Dia dituduh mensuplai berbagai bentuk bantuan kepada kelompok perlawanan Hamas. Dan menurut keterangan pengacaranya, saat itu dia mengalami penyiksaan yang luar biasa secara fisik. Dia baru dibebaskan pada 1998. Segera setelah itu, dia langsung kembali ke Bridgeview.

Tapi tahun 2004, pengadilan federal Amerika kembali menjatuhinya hukuman atas dakwaan serupa yang sebelumnya dilakukan Israel. Dia baru dibebaskan lagi pada 2007, meskipun dakwaan yang dihadapkan kepadanya adalah pelanggaran yang lebih rendah. Yaitu menghalangi proses peradilan. Dakwaan yang tak terbukti, tapi diganti dengan dakwaan lain. Agar Salah tetap dihukum. Karena skenarionya memang bertujuan untuk menghukum warga muslim itu.

Kesimpulan Boundaoui, Israel telah memberikan informasi kepada FBI tentang apa yang didapatkannya dari Salah. Setelah mereka menginterogasi Salah melalui metode penyiksaan fisik. Hal inilah, yang diyakini Boundaoui, sebagai latar belakang dilakukannya operasi Vulgar Betrayal itu. Salah satu bentuk operasi intelijen yang menjadikan komunitas muslim Amerika sebagai kelompok masyarakat yang selalu dicurigai. Lucunya, walaupun tanpa mendapatkan bukti-bukti yang kongkrit, operasi ini terus dijalankan selama tidak kurang dari tiga dekade terakhir.

Selama itu, menurut Boundaoui, dia sering melihat agen-agen berpakaian sipil memarkir mobil mereka di sekitar rumah-rumah yang ada di Bridgeview. Lalu tidak jarang ada orang yang berpakaian mentereng, bersepatu bagus, mengorek-ngorek sesuatu dari tong sampah warga.

Boundaoui sering mengintip dari balik jendela rumahnya. Karena itu dia sering juga melihat beberapa pria memasang sesuatu di tiang telepon. Tidak jarang, karena takut, Boundaoui lalu membangunkan ibunya. “Itu mungkin agen-agen FBI. Ayo tidur lagi,” begitu Boundaoui mengutip ucapan ibunya.

Boundaoui merasa hal itulah yang mendorongnya menjadi wartawati dan terobsesi untuk membongkar apa yang membuat dia selalu ketakutan selama ini. Karena itu, pada 2013, Boundaoui memulai kegiatan memfilmkan segala bentuk dokumen yang dia dapat. Awalnya, dia hanya fokus pada cerita dua sahabatnya, yang ayah mereka dituduh membantu kegiatan teroris pada 1997. Meskipun tuduhan itu tidak dapat dibuktikan, namun para tertuduh ini tetap dihukum dengan hukuman yang seperti dicari-cari. Di antaranya didakwa melakukan “white collar crimes” (kejahatan kerah putih).

Dengan beberapa data yang sudah didapat, mestinya proyek itu sudah selesai. Tapi Boundaoui tidak berhenti menggali informasi. Dalam proses itu, dia menyadari, sesungguhnya dia sudah menemukan apa yang sesungguhnya dia cari. “Karena itu saya pun mulai memfilmkan seluruh dokumen,” katanya menggambarkan bagaimana film dokumenter itu dia garap.

Menurut beberapa sumber lain, selama bertahun-tahun, para anggota keluarga muslim Amerika di sebuah kawasan di pinggiran Chicago curiga bahwa mereka selalu jadi sasaran intel pemerintah. Dan mereka benar. Operasi intelijen itu terus berlangsung. Masyarakat kota Bridgeview, Illinois, adalah sasaran penyelidikan FBI. Dalam rangka operasi kontra-intelijen dalam negeri sejak akhir 1990-an dan awal 2000-an, merekalah kelompok masyarakat yang paling dicurigai pemerintah.

Meskipun memakan tempo tidak kurang dari 10 tahun dan menelan biaya jutaan dolar, namun apa yang disebut Vulgar Betrayal itu sama sekali tidak melahirkan keyakinan tentang adanya kegiatan terorisme itu. Bagaimanapun, pemerintah tentu saja menolak anggapan bahwa operasi tersebut dimaksudkan sebagai upaya mematai-matai suatu kelompok etnis dalam masyarakat. Tetapi berbagai kritik yang muncul kemudian menekankan bahwa apa yang dilakukan pemerintah AS di Bridgeview adalah sebuah contoh lain kegiatan mata-mata FBI yang sistematis. Tentu saja, hal itu bertujuan untuk mengintimidasi masyarakat setempat yang memiliki warna kulit dan keyakinan agama yang berbeda.

Menurut keterangan beberapa sumber, sebenarnya operasi Vulgar Betrayal itu sudah berakhir lebih dari satu dekade yang lalu. Tapi dampaknya terhadap masyarakat di Bridgeview masih berlangsung sampai sekarang. Mereka jadi selalu ketakutan, mengalami paranoia dan merasa seperti masih diintai dan diawasi pihak keamanan. (*)

Keterangan foto di atas: Assia Boundaoui, Dr. Kameelah Rashad dan Omar Farah ketika diwawancara Aljazeera

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *