Menemukan Interkoneksi Antar Ayat: Modal Dasar Memahami al-Qur’an dengan Benar

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina




Oleh: Dr. Mohammad Nasih
Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidh al-Qur’an Monash Institute Semarang, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Redaktur Ahli Hajinews.id

Para ulama’ Kufah bersetuju dalam pendapat bahwa jumlah keseluruhan ayat al-Qur’an adalah 6236. Angka yang cukup mudah diingat. Dari sekian banyak ayat itu, terdapat banyak ayat yang antara satu dengan yang lainnya sesungguhnya saling terhubung. Karena itu, jika satu ayat tidak dipahami dengan ayat yang lain, bisa menyebabkan kesalahan yang cukup fatal. Inilah yang menjadi modal penting untuk melakukan penafsiran secara tematik.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pengetahuan yang baik tentang adanya interkoneksi ini meniscayakan beberapa prasyarat:

Pertama, memahami bahasa Arab sampai pada level rasa bahasa dan konteks dalam kalimatnya (dzauq). Pemahaman yang dalam kepada bahasa Arab, memungkinkan untuk menangkap maksud sebuah ayat. Dan ketika membaca ayat lain dengan kemiripan makna, maka akan memudahkan untuk menghubungkannya untuk mendapatkan penguatan pemahaman, atau menarik pemahaman yang lebih komprehensif. Atau jika membaca ayat yang sulit dipahami, maka akan ada dorongan untuk mencari jawabannya pada ayat-ayat lain.

Dalam konteks ini, ayat-ayat al-Qur’an ibarat puzzel yang berserakan. Jika ditemukan dua atau tiga ayat yang memiliki kaitan, akan terbentuk gabungan puzzel yang lebih luas penampangnya. Seluas itulah wawasan yang didapatkan. Di antara contohnya terdapat dalam sebuah kisah ketika Nabi membaca al-An’am: 82.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami al-A’masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedhaliman, maka mereka akan mendapatkan keamanan dan petunjuk.” (Al-An’am: 82) Maka hal ini terasa berat oleh mereka (para sahabat). Lalu mereka berkata: “Wahai Rasulallah, siapakah di antara kita yang tidak pernah berbuat dhalim terhadap dirinya sendiri?”

Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya itu bukan seperti apa yang kalian maksudkan. Tidakkah kalian mendengar apa yang telah dikatakan oleh seorang hamba yang saleh (Luqman): “Hai anakku, janganlah kalian mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedhaliman yang besar” (Luqman: 13).

Berdasarkan hadits tersebut, nampak sekali bahwa para sahabat pun sempat mengalami kekeliruan pemahaman tentang maksud al-An’am: 82. Rasulullah yang kemudian meluruskan pemahaman mereka dengan menunjukkan ayat lain yang letaknya “cukup jauh”. Ayat yang pertama berada pada juz 7, sedangkan yang menjelaskan maksud sebenarnya ada pada juz 21. Dan sesungguhnya, hubungannya juga tidak hanya dengan ayat tersebut, tetapi juga masih banyak ayat yang lain.

Karena jumlah ayat yang memiliki interkoneksi dengan ayat lain berjumlah sangat banyak, maka tidak cukup hanya menghafalkan penggalan-penggalan ayat saja. Untuk mengetahui secara lebih baik lagi, diperlukan prasyarat berikutnya yaitu:

Kedua, hafal al-Qur’an secara keseluruhan. Hafal al-Qur’an secara keseluruhan diperlukan untuk memastikan bahwa tidak ada satu ayat pun yang terlewat dari upaya menemukan adanya keterhubungan di antara kesemua ayat yang mengandung objek kajian yang sama. Hafalan al-Qur’an sangat diperlukan karena untuk menemukannya kadang-kadang memerlukan kontemplasi yang mendalam yang kadang-kadang dilakukan dengan sengaja memfokuskan diri, tetapi kadang juga saat menjelang tidur, baru terjaga dari tidur, bahkan bisa dalam mimpi, atau tiba-tiba mendapatkan inspirasi karena berhadapan dengan sebuah keadaan atau masalah dalam kehidupan.

Di antara yang tidak dipahami secara baik dalam konteks ini adalah surat al-‘Ashr: 1-3. “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr: 1-3)

Bahkan banyak tafsir yang menjadi rujukan utama pun tidak memberikan perspektif tentang adanya keterhubungan itu, sehingga banyak orang memahaminya secara semaunya, di antaranya menarik pemahaman dangkal bahwa jika tidak memanfaatkan waktu, maka akan rugi. Jika hanya sekedar itu, al-Qur’an tidak perlu menginformasikan.

Siapa pun, bisa dikatakan sudah tahu bahwa orang yang tidak memanfaatkan waktunya, maka dia akan mengalami kerugian dalam hidup. Namun, al-Qur’an memberikan perspektif paradigmatik yang sangat dalam. Sebab, ada ayat lain yang berhubungan dengan surat al-‘Ashr, yakni al-Kahf: 103-105.

“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (al-Kahf: 103-105)

Dengan menghubungkan al-‘Ashr yang terdapat pada juz 30 dengan al-Kahf: 103-105 yang berada pada juz 16, maka baru bisa diketahui dengan baik bahwa pesan sesungguhnya adalah manusia harus beriman, dan pada saat yang sama iman tersebut haruslah kebenaran, amal kebaikan yang tidak didasarkan kepada iman yang benar itu akan sia-sia belaka. Itulah point penting menyebabkan manusia disebut rugi. Sebab, sudah melakukan amal-amal kebaikan, tetapi tidak mendapatkan balasan kebaikan itu nanti di sisi Allah, tetapi sebaliknya mereka mendapatkan siksaan yang amat pedih. Ibarat orang telah mengeluarkan uang yang sangat banyak untuk berbelanja, tetapi barang belanjaan tidak didapatkan. Itulah paradigma yang diinginkan oleh Allah. Dan manusia, sebagai hamba Allah tidak memiliki pilihan lain (al-Ahzab: 36).

Perspektif yang lengkap ini akan memungkinkan umat Islam terhindar dari jebakan paham eklektisisme yang termanifestasi di antaranya dalam paham pluralisme agama, humanisme, individualisme, dan banyak lagi yang lainnya, yang sesungguhnya sangat bertentangan dengan Islam. Dengan pemahaman yang komprehensif, akan nampak bahwa Islam telah memiliki paradigma yang kokoh dan juga indah.

Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa memahami interkoneksi antar ayat sangatlah penting untuk mendapatkan pemahaman yang benar. Karena itu prasyaratnya perlu terus diperbaiki, agar pemahaman tentang Islam terus menjadi lebih baik. Wallahu a’lam bi al-shawab.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *