Haedar Nashir: Jangan Jadikan Umat Islam sebagai Sasaran Deradikalisasi Sepihak

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir. Foto:
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Jogjakarta,hajinews.id-Polemik Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim ditanggapi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir.

Menurut dia, tidak boleh ada diskriminasi khusus pada kegiatan keagamaan di lingkungan umat Islam seperti majelis taklim. Kegiatan keagamaan di ranah umat, seperti Majelis Taklim justru dapat menghidupkan spirit keislaman yang tinggi dan sangat positif untuk menanamkan, memahamkan, dan mengamalkan Islam dengan baik dan benar.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Soal perbedaan paham dan pandangan sejak dulu sering terjadi, yang paling penting kembangkan dialog agar masing-masing tidak ekstrem (ghuluw) dalam beragama dan tidak menimbulkan konflik keagamaan sesama umat beragama,” kata Haedar Nashir seperti dilansir kantor berita Antara, Minggu (1/12).

Dia menilai, jika ada pelanggaran maka pemerintah dapat melakukan pendekatan hukum. Aturan yang terlalu jauh dan bersifat generalisasi dianggap tidak diperlukan.

Haedar Nasir justru khawatir, PMA tentang Majelis Taklim akan dijadikan alat oleh pemerintah untuk mengatur dan melarang majelis-majelis taklim yang tidak sepaham dengan aparat atau pejabat Kementerian Agama dalam hal ini KUA setempat.

Jika ini terjadi, maka akan menjadi instrumen untuk kepentingan golongan atau mazhab agama yang menyatu atau dominan dalam instansi pemerintah tersebut.

“Jika hal itu terjadi dimungkinkan akan memunculkan konflik kepentingan dan gesekan paham keagamaan yang melibatkan otoritas negara atau institusi pemerintah. Semuanya perlu keseksamaan dan kearifan,” kata Haedar.

Menurutnya, undang-undang yang ada saat ini sudah cukup untuk mencegah radikalisme atau ekstrimisme.

“Kita sungguh tidak setuju dan menolak segala bentuk radikalisme yang mengarah pada ekstrimisme dan membenarkan kekerasan atas nama apapun dan oleh siapapun. Namun semuanya perlu dasar pemikiran, rujukan, cakupan, dan langkah tentang radikalisme yang objektif, komprehensif, serta tidak parsial dan diskriminatif,” kata Haedar.

Haedar menekankan agar para pejabat publik tidak mudah mengeluarkan pernyataan yang mengarah pada stigma atas kasus terbatas untuk digeneralisasi. Karenanya perlu dilakukan dialog dengan semua komponen bangsa demi kepentingan ke depan dalam kehidupan keagamaan dan kebangsaan yang lebih baik.

“Jangan menggeneralisasi dan menjadikan umat Islam sebagai sasaran deradikalisasi secara sepihak, diskriminasi, dan dengan aturan yang monolitik seolah umat mayoritas ini menjadi sumber radikalisme dan ekstrimisme,” kata Haedar.(wh/antara)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *