JAKARTA, hajinews.id – Sepeda motor Harley Davidson yang diselundupkan oleh Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk adalah motor bekas. Hal tersebut juga dilihat dari suku cadang motor dan beberapa sparepart yang terlihat sudah usang.
Demikian diungkapkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan ketika memberi paparan kepada awak media di Jakarta, Kamis (5/12/2019). “Seharusnya motor gede (moge) tersebut dilarang untuk diimpor,” tegas Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi.
Heru menyatakan, Harley tersebut adalah moge bekas yang dari aturan jelas-jelas tidak boleh diimpor. “Dan saya kira penumpang di pesawat itu tentunya kita anggap orang yang paham mengenai masalah bagaimana mendatangkan barang-barang dari luar ke dalam teritori Indonesia,” tuturnya.
Impor barang bekas telah diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan ( Permendag) Nomor 76 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Barang Modal dalam Keadaan Tidak Baru (BMTB). Merujuk pada lampiran Permendag tersebut, kode HS untuk onderdil moge yang didapati tersebut , yaitu kode 87.11, tidak terdapat dalam daftar BMTB yang diizinkan untuk diimpor oleh pemerintah.
Artinya, pemasukan onderdil moge bekas ke dalam wilayah pabean tersebut melanggar Permendag tersebut. Beleid tersebut menyatakan, dalam hal BMTB yang diimpor tidak sesuai dengan ketentuan peraturan, maka wajib ditarik kembali dari peredaran dan dimusnahkan oleh importir. Biaya atas pelaksanaan penarikan kembali maupun pemusnahan ditanggung oleh importir.
Selanjutnya Heru memaparkan, seharusnya sejak awal pelaku penyelundupan tidak melakukan manipulasi pengiriman via cargo pesawat. “Makanya kita lakukan penitian lebih dalam terus,” ujar dia.
Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, berdasarkan hasil pemeriksaan 18 kotak yang ditemukan dalam lambung pesawat baru Garuda Indonesia tipe Airbus A330-900 harga lopor Harley Davidson tahun 1972 tersebut seharga Rp 800 jutaan.
Adapun untuk sepeda Brompton diperkirakan seharga Rp 50 juta hingga Rp 60 juta per unit. “Dengan demikian total kerugian negara potensinya adalah Rp 532 juta hingga Rp 1,5 miliar,” kata Sri Mulyani. (rah/kompas)