Ternyata Imam Syafii Lahir dari Perempuan Suci “Buta dan Tuli”

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Prof. Dr. Lukman Hakim

Khutbah Jumah yang kudapat hari ini (di Masjid Agung Sunda Kelapa Menteng Jakarta, dengan khatib Kombes H. Zainuri Anwar, MA) sangat merasuk hatiku. Khatib menyampaikan uraiannya yang ringkas dan lugas menceritakan lewat riwayat dua tiga tokoh dalam khutbahnya yang padat berisi itu.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Diawali cerita pemuda Idris penduduk Palestina yang suatu saat berjalan menyusuri sungai kearah hulu. Idris melihat dari kejauhan ada benda  hanyut dibawa arus mengalir yang menarik perhatiannya. Ternyata benda itu sebutir apel yang ranum segar yang segera dia raih saat apel tadi berada dalam jangkauan nya.

Begitu diperoleh Apel yang ranum tadi digigitnya, namun ini tidak berlanjut. Idris menyadari apel yang dimakan tadi sekalipun dipungut dari sungai yang mengalir bukanlah miliknya. Hatinya tersentak untuk berusaha mengetahui dari mana Apel tadi berasal. Oleh dorongan hatinya yang kuat, Idris menyusuri sungai itu kearah hulu.

Cukup jauh jalan yang ditempuhnya, dimana kemudian dia mendapatkan ada sepohon apel yang tengah berbuah yang rantingnya condong ke sungai. Dari situlah Idris yakin buah Apel matang yang telah digigitnya itu berasal. Segera Idris menemui pemilik kebun apel itu menyampaikan kisahnya, seraya memohon maaf dan meminta keikhlasan atas keberaniannya mengunyah apel yang bukan miliknya.

Jauh diluar perkiraan, pemilik kebun tidak mau memaafkannya, dan memerintahkan Idris melakukan pekerjaan mencangkul lahan cukup luas dikebunnya. Berhari hari Idris bekerja mengolah kebun itu untuk mendapatkan maaf atas kesalahan yang diperbuatnya. Hingga saat lahan yang diperintahkan pemilik kebun selesai, datanglah Idris menghadap, seraya berharap perkaranya segera selesai.

Yang dia peroleh bukan kata maaf, disitu pemilik kebun meminta dia mengawini putrinya, yang maaf adalah wanita “cacat, buta, tuli dan lumpuh”. “Saya baru ikhlas memaafkanmu, bila permintaan itu kau penuhi,” kata pemilik pohon apel itu.

Singkat cerita karena sudah berat upaya yang dilakukan tetapi tidak juga maaf diberikan, akhirnya Idris memenuhi permintaan itu.

Diceritakan secara ringkas setelah perkawinan ternyata putri pemilik kebun apel itu adalah seorang wanita cantik rupawan, penyakit tuli, buta dan lumpuh itu “pulih” setelah perkawinan; yang membawa pasangan itu hidup berbahagia dengan dikaruniai bayi yang sehat, yang mereka beri nama Syafi’i (Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i).

Dalam usia pendek Idris berpulang, sehingga kehidupan Syafi’i kemudian dibesarkan dan dididik Ibunya. Syafei tumbuh menjadi bayi yang cerdas, dalam usia 7 tahun dia hafiz alquran dan belajar ilmu agama dengan berbagai guru terkemuka.

Pada saat remaja dia sudah memimpikan untuk dapat belajar dari Imam Malik yang sangat terkenal pada masa itu. Permohonan Syafi’i dipenuhi Ibunya untuk berguru ke pondok Imam Malik di Madinah. Dia pernah ditolak dari sekian banyak pelamar yang ada pada waktu itu. Tetapi akhirnya Imam Malik tertarik bukan hanya karena Syafi’i sudah hafidz sejak dari kecil, tetapi dia juga hafal al kitab ribuan halaman yang telah ditulis Imam Malik. Jadilah Syafi’i murid dari Imam Malik yang sangat terkemuka, sehingga ya kemudian juga disebut sebagai Imam.

Dikisahkan ada suatu perdebatan antara Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang Nafkah yang digali dari satu hadits Nabi. “Andai kalian tawakal kepada Allah dengan sebenar benarnya tawakal niscaya Allah akan memberi rezeki, sebagai mana dia memberi rezeki kepada burung burung yang pergi dalam keadaan lapar lalu pulang dalam keadaan kenyang.” (HR Ahmad).

Imam Syafi’i berbeda pandangan dengan gurunya Imam Malik dalam menginterprestasikan hadits itu, seraya menukas, ya Syaikh: “Seandainya burung tidak keluar sangkar bagaimana mungkin dia mendapatkan makanannya,”  ujar Imam Syafi’i.

Dikisahkan khatib Jumah, bahwa sampai Imam Syafi’i pergi meninggalkan pondok. Dalam perjalanannya yang cukup jauh Imam Syafi’i bertemu seorang tua yang lagi membawa beban yang berat dalam suatu tanjakan. Imam Syafi’i menawarkan bantuan untuk membawakan barang tersebut dan orang tua tersebut menerimanya.

Dipanggullàh barang tersebut di antar Imam Syafi’i sampai kerumah bapak tua tersebut. Lalu bapak tua tersebut membungkuskan sedikit kurma yang diberikannya kepada Syafi’i sebagai imbal jasa yang telah diberikan.

Bungkusan itu dengan semangat dibawa kembali ke pondok karena ingin diceritakannya ke pada gurunya Imam Malik, bagaimana dengan bekerja kita mendapatkan rezeki sebagaimana diriwayatkan hadist tersebut.

Sesampainya dirumah duduklah kedua Imam guru dan murid itu bercengkerama dimulai oleh Imam Syafi’i yang menceritakan perkara membantu mengangkat kantung kurma tadi. “Jika sekiranya saya tidak keluar pondok dari manakah saya mendapat sebungkus kurma ini,” ujarnya.

Dijawab oleh Imam Malik, sambil meminta bungkusan kurma itu dibentang diatas meja dan dia mendahului mencicipnya sebutir.

Sehari ini aku memang tidak keluar pondok, hanya mengambil tugas sebagai guru dan sedikit berfikir alangkah nikmatnya dalam hari yang panas ini menikmati lezatnya buah kurma. Tiba tiba engkau datang membawa kurma ini untukku. Bukankah ini juga bagian dari rezeki yanģ datang tanpa sebab?

Cukup tawakal yang besar kepada Allah niscaya Allah akan berikan rezeki. “Lakukanlah yang menjadi bagianmu dan selanjutnya biarkan Allah yang mengurus lainnya,” ujar Imam Malik.

Iman Syafei langsung tertawa mendengar penjelasan Imam Malik. Keduanya berdiri sambil berpelukan.

Demikiankah para imam dari dua madzhab itu menunjukkan kepada umatnya bagaimana menyikapi sebuah perbedaan. Keduanya tidak menunjukkan saling menyalahkan lalu membenarkan pendapatnya sendiri.

Demikian khatib menutup khutbahnya. (*)

 

Catatan Redaksi: Dalam banyak riwayat, putri cantik yang dinikahi pemuda Idris itu bernama Ruqaiyyah, sebagian lagi menulisnya Fatimah. Tentang buta, tuli, bisu dan lumpuh yang disebut adalah bahasa kiasan. Maksud sebenarnya adalah putri itu cantiknya bukan main karena anggota badananya sangat terjaga dari maksiat. Mulutnya tak digunakan untuk menggosip, matanya tak melihat berbagai maksiat, telinganya hanya untuk mendengar yang baik-baik dan kakinya tidak dilangkahkan untuk maksiat.  Cerita yang sama juga tertulis dalam buku  M. Cholil Bisri berjudul Menuju Ketenangan Batin (2008: 161).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *