Membangun Peradaban Politik Identitas Qur’ani

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Pengantar redaksi: Tulisan Chusnul Mar’iyah ini adalah pengantar buku berjudul “Abana: Menempuh Jalan Sunyi Membangun Qur’anic Habits (Potret Gagasan dan Aksi Mohammad Nasih)” . Buku ini ditulis oleh hampir 100 disciples Monash Institute dan diberi kesaksian oleh beberapa guru, kerabat, dan kolega Abah Dr. Mohammad Nasih. Buku biografi ini membahas jejak hidup dan pemikiran Mohammad Nasih yang membentang dari pendidikan, sosial-agama, hingga politik negara. Tidak hanya berupa gagasan, buku ini dilengkapi potret aksi Mohammad Nasih dalam membangun Qur’anic Habits dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang nasionalis-religious. Saat ini Mohammad Nasih juga aktif sebagai Redaktur Ahli Hajinews.id.
KATA PENGANTAR

Membangun Peradaban Politik Identitas Qur’ani

Oleh: Chusnul Mar’iyah, Ph.D., Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia

Memberikan kata pengantar pada buku yang merupakan kumpulan tulisan para diciples/murid/santri dari Dr. Mohammad Nasih tidaklah mudah. Karena tulisan para santri tersebut sangatlah beragam dalam memotret Dr. M. Nasih dari berbagai perspektif, dari intelektualitasnya, kepemimpinannya, sampai kepada kesehariannya sebagai seorang scholars. Dr. M. Nasih adalah seorang Doktor Ilmu Politik yang hafal al-Qur’an. Mengenal perjalanan Nasih bisa dilihat dari beberapa fase. Seorang engage scholars, seorang scholars  yang aktivis, scholars yang terlibat langsung dalam membangun cita-citanya membentuk, mendidik insan-insan calon pemimpin masa depan ummat dan bangsa ini. Dr. Nasih mempraktikkan metodenya yang merupakan hasil pemikirannya berdasar al-Qur’an dan khasanah keilmuan yang dipelajarinya. Dr. Nasih mencoba mempertemukan pengetahuan Barat dalam pemikiran Ilmu Politik yang dipelajari saat kuliah Magister dan Doktoral di UI dengan kekayaan Timur Islam dengan berpegang teguh pada al-Qur’an. Dia adalah seorang akademisi, sebagai ko-Dosen di Pasca sarjana Ilmu Politik UI; Dosen di UMJ, serta pendiri dan wakil Rektor di Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perbankan Syari’ah (Stebank) Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Jakarta. Stebank ini merupakan besutan Dr. M. Nasih bersama almarhum AM Fatwa dan kawan-kawan. Dia juga seorang aktivis HMI sejak di tingkat sarjana, yang harus berhadapan dengan regime penguasa sampai di tingkat pengadilan dalam memperjuangkan kebebasan dan keadilan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Tulisan pendek ini mencoba untuk memberikan perspektif politik kekinian dalam memahami tantangan yang dihadapi oleh pemikiran-pemikiran politik Nasih dan kenyataan praktiknya. Potret Dr. Nasih ini lebih fokus pada fase duduk kuliah di tingkat Magister dan tingkat doktoral Ilmu Politik UI dan kenyataan praktiknya dalam mengimplementasikan pikirannya. Fase perjalanan intelektual Dr. Nasih itu dalam membangun tesisnya tentang nasionalisme yang membandingkan antara nasionalisme-sekuler Turkey dengan nasionalisme-religious Indonesia. Konstribusinya dalam perkembangan pemikiran politik di Indonesia menjadi sangat penting. Karena dalam praktik politik terutama dalam kehidupan partai politik. Kategorisasi yang dianggap benar selama ini adalah bahwa partai-partai Islamis dihadapkan dengan partai-partai nasionalis. Secara implisit pemahaman tersebut memberikan label bahwa partai Islamis tidaklah nasionalis. Akibatnya bisa sangatlah berbahaya dalam kompetisi tentang identitas politik. Pada Pemilu 2014, jargon politik “Saya Pancasila”, “saya Bhineka” menjadi wacana untuk meminggirkan ummat Islam dalam menentukan pilihannya sesuai dengan preferensi yang didasarkan pada agama. Kekuatan dari oligarkhi ekonomi dan oligarkhi politik yang menguasai media menyebabkan identitas agama dalam hal ini Islam dianggap berbahaya. Diskursus terorisme dan radikalisme juga disematkan pada kelompok Islam yang ingin menggunakan identitas Islam dalam politik.

Dengan situasi politik seperti itulah, studi Nasih menjadi relevan dalam perkembangan politik di Indonesia dewasa ini tentang identitas politik terutama pasca 411 dan 212. Anggapan bahwa dalam politik, terutama dalam pemilu, yang menggunakan identitas Islam dianggap bertentangan dengan Pancasila dan bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika. Padahal identitas politik adalah hal yang biasa dalam Ilmu Politik. Pertanyaan mahasiswa tentang identitas politik Islam misalnya dianggap membawa kemunduran dalam demokrasi. Kembali lagi identitas Islam dalam politik dihadapkan dengan demokrasi. Padahal dalam demokrasi paling tidak memiliki 3 indikator yaitu pertama, suksesi pemerintahan dengan kompetisi tanpa kekerasan. Kedua, partisipasi penuh warga negara baik perempuan maupun laki-laki. Ketiga civil and political liberties, yaitu kebebesan sipil dan politik yang meliputi kebebasan berserikat, kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat (Linz, Lipset, diamond). Untuk dapat memahami pentingnya identitas Islam dalam politik dapat kembali kepada bagaimana munajat para pendiri bangsa.

Konstruksi Indonesia: Munajat Pendiri Bangsa

Sepertinya ada kesengajaan untuk meminggirkan sejarah Islam dalam bangunan negara Republik Indonesia. Bukankah NKRI merupakan kumpulan dari kesultanan-kesultanan Islam dari Aceh sampai Tidore? Konstribusi para Ulama’ dalam merebut kemerdekaan juga konstribusi harta kekayaan para kerajaan-kerajaan tersebut tidak dapat dihitung. Bahkan secara politik menyerahkan kekuasaannya, kedaulatannya baik politik maupun wilayahnya dalam membangun negara baru Republik Indonesia. Kesultanan-kesultanan sebagian besar Islam itulah sesungguhnya “pemilik sah” negara Indonesia. Mereka bersetuju menyerahkan kedaulatan politik dan kedaulatan wilayahnya dalam perjanjian baru membangun negara Republik Indonesia. Perjanjian itu diwujudkan dalam Pembukaan UUD 1945. Dokumen ini adalah sangat penting dalam konstruksi negara Republik Indonesia. Lebih jauh lagi dokumen tersebut merupakan a noble accomplishment, a great promise and a demanding set of goals, dari konstruksi bangsa dan negara Republik Indonesia. Dokumen tersebut merupakan pernyataan tentang filsafah politik dan sosial warga negara Republik Indonesia.  Setelah kemerdekaan RI 68 tahun, mari kita simak kembali apa yang saya katakana sebagai a noble accomplishment, a great promise and a demanding set of goals tersebut dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai berikut:

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”

“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :

  • Ketuhanan Yang Maha Esa,
  • kemanusiaan yang adil dan beradab,
  • persatuan Indonesia, dan
  • kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
  • serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Pernyataan pembukaan UUD 1945 tersebut merupakan prinsip dasar bagi bangsa dan warga negara Indonesia. Di samping itu juga harus menjadi prinsip dasar dalam tradisi politik Indonesia, karena dokumen tersebut merupakan perjanjian berbangsa dan bernegara yang merupakan transformasi dari negara yang dijajah kepada an organized people, the Indonesian people yang merdeka. Dalam perkembangan politik dewasa ini, terlihat bahwa resonansi tentang perjanjian/pernyataan dalam dokumen pembukaan UUD 1945 sebagai kesadaran prinsip tradisi politik tidak menjadi perhatian penting dalam tingkah laku politik para elite bangsa dan masyarakat warga secara luas. Dengan demikian, diperlukan gerakan untuk kembali kepada prinsip-prinsip dasar politik dalam pembukaan tersebut sebagai perjanjian penting.

Pembukaan UUD 1945 adalah perjanjian dari para pendiri bangsa yang membangun orang-orang Indonesia, para kesultanan-kesultanan yang berada di wilayah Indonesia, sebagai bangsa baru bangsa Indonesia yang terorganisir dalam kerangka negara Indonesia yang disatukan dalam visi moral dan kepentingan bersama. Kalau meminjam terminologi yang dikemukakan oleh Dien Sjamsuddin Indonesia merupakan darul syahadah atau negara persaksian atau negara perjanjian, bukan darul Islam.[1] Apa makna utama sebagai Darul-Syahadah? Perjanjian atau persaksian merupakamn morally-informed agreement. Perjanjian atau pakta tersebut dibangun oleh para pendiri bangsa secara sukarela, walaupun tidak dapat dikatakan memiliki status yang sama namun dapat dikatakan sebagai dasar politik untuk melakukan tindakan, kewajiban untuk mencapai cita-cita berbangsa dan bernegara. Perjanjian tersebut melibatkan consenting, promising and agreeing untuk membangun sosial dan politik bangsa dan negara Indonesia.

Namun, pada saat yang sama kompetisi diskursus tentang negara persaksian bisa juga kemudian ditarik ke model negara Madinah. Negara Pancasila pada dasarnya adalah negara Islam ala negara perjanjian Madinah di era kontemporer dewasa ini. Sayangnya ketakutan politik dalam mendiskusikan negara Islam sangatlah besar. Prinsip utama dalam pemikiran Islam adalah tidak memisahkan antara state and Church (negara/politik dan gereja/agama) seperti dalam pemikiran politik Barat. Dalam pemikiran politik Islam, politik adalah bagian dari ibadah/agama. Untuk dapat melaksanakan Syari’at, agama dibutuhkan negara. Pilihannya dalam bentuk negara Islam atau nilai-nilai Islami yang menjadi rujukan dalam berbangsa dan bernegara.

Negara dan Agama: Politik Identitas

Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia. Namun, di era ini secara terbuka terjadi Islamophobia yang luar biasa. Bahkan hal tersebut juga melanda para scholars dengan argumentasi yang sepertinya masuk di akal dan sangat rasional, tanpa memahami apa sesungguhnya yang terjadi di balik kondisi tersebut. Kenapa Islam menjadi musuh global setelah glasnot dan perestroika terjadi di USSR. Setelah regime komunis federasi Rusia jatuh, maka Islam menjadi musuh berikutnya. Hal itu diperkuat dengan argumen Huntington dalam bukunya The Clash of Civilizations. Huntington sebagai scholars dari Harvard University memiliki fungsi to serve United States foreign policy. Dengan demikian, scholars di USA pun mendapatkan tempat yang luar biasa untuk kepentingan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Pada saat yang sama bagaimana media Barat melihat Islam, maka tulisan Edward Said, seorang Palestina Kristen yang secara jujur menulis bagaimana Islam di mata media Barat dalam bukunya Covering Islam, pada tahun 1981. Dalam hal ini, Said melihat bagaimana media Barat melihat realitas di dunia muslim setelah revolusi Iran 1979. Said mempertanyakan obyektivitas dari media dan mendiskusikan hubungan antara pengetahuan, kekuasaan dan media Barat. Mahasiswa dapat membaca banyak tulisan issue tersebut.

Namun, sejauh mana karya-karya tersebut melihat secara obyektif kepada Islam dan ummatnya ataukah menjadi propaganda untuk meminggirkan kekuatan Islam. Setelah 9/11 yang terjadi pada tahun 2001, Washington Administration mempropagandakan war on terror. Bagi negara-negara yang tidak melakukan kebijakan yang sama untuk memerangi teror, dianggap teroris itu sendiri. Kebijakan tersebut berubah saat pemerintahan Obama dengan pendekatan yang lunak, yaitu counter violence extrimism dengan pendekatan program-program seperti deradikalisasi. Sayangnya di Indonesia deradikalisasi hanya ditujukan kepada kelompok Islam saja.

Kenapa demikian? Kembali lagi global politic mempengaruhi kepolitkan di Indonesia. Bagaimana kita membaca kepolitikan tersebut? Dapatkah kita merebut tafsir political Islam seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan pemerintahan di Madinah? Sejauh mana kita bisa lebih jujur dalam melihat fenomena Islam dan politik dewasa ini, terutama dalam Pemilu 2014 dan pilkada DKI 2017 serta pemilu serentak 2019 yang baru lalu? Sejauh mana kita tidak terserang Islamophobia? Kemudian dilanjutkan lebih khusus Khilafah phobia? Padahal bila Khilafah diartikan sebagai kepemimpinan dan tata kelola pemerintahan, maka terdapat kontestasi Khilafah Kristen Protestan (model demokrasi Amerika Serikat dan di Eropa Barat); Khilafah Katholik (model pemerintahan Vatikan); Khilafah Konfusionisme (ala negara China) dan Khilafah Islam (kembali kepada sejarah Nabi Muhammad SAW di Madinah). Berbagai model khilafah tersebut perlu dibahas sebagai pengetahuan dasar agar kita tidak dengan mudah memberikan konotasi negatif atau dengan menggunakan tone pejoratif terhadap diskursus Khilafah Islam akhir-akhir ini. Kontestasi konsep menjadi sangat berguna bagi pengembangan pengetahuan kita.

Hal itu dapat diduga karena adanya ketakutan di kalangan elit politik dengan munculnya kesadaran kelompok Islam yang secara ekonomi dan politik termarjinalkan. Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia namun mayoritas warga muslimnya miskin. Di samping itu negara Indonesia adalah negara yang kaya secara sumber daya alam. Sementara itu regime yang berkuasa masih melanjutkan kebijakan politik model Snouck Hurgronje pada zaman penjajahan Belanda yang memisahkan antara agama dan negara. Kebijakan itu pada dasarnya membolehkan ummat Islam membangun masjid namun melarang ummat Islam berpolitik. Kenapa? Karena dengan kesadaran politik yang dimiliki oleh ummat Islam akan mengganggu kepentingan kaum penjajah baru, kaum kapitalis yang telah menikmati keuntungan material melalui kekuasaan. Issue Islamophobia yang lain adalah isu khilafah. Pemahaman khilafah yang sempit dan dianggap memecah belah NKRI menunjukkan ketidakfahaman kita dalam konsep negara dan politik. Politik identitas adalah suatu hal yang biasa. Apalagi identitas seseorang yang melekat dalam diri seseorang sebagai HAM. Pilihan berdasarkan prinsip agama, berdasarkan kelompok sosial, umur, gender adalah preferensi politik yang biasa saja. Dalam demokrasi preferensi politik tersebut dilindungi oleh konstitusi dan Undang-Undang di Indonesia.

Mohammad Nasih dan Ikhtiar Membangun Pemimpin dan Peradaban Qur’ani

Dengan latar belakang politik di atas, menjadi tantangan bagi Nasih untuk mengimplementasikan pemikiran-pemikirannya dalam mewujudkan peradaban identias politik Qur’ani. Dalam kondisi politik Islamophobia dewasa ini, sangat dibutuhkan gagasan/pemikiran cerdas yang dapat menjembatani antara bangunan demokrasi sekuler dengan gagasan para pendiri bangsa dan negara Indonesia yang bersifat nasionalis-religius. Kenapa berani dengan konsep identitas politik Qur’ani/Islami di ruang global politik pasca gelombang glasnot dan perestroika dan 9/11 yang diikuti dengan war on terror dan counter violence extrimism dari kebijakan Washington Administration? Gagasan Nasih dapat memberikan warna baru dalam kancah analisis kepolitikan di Indonesia. Gagasannya juga diterapkan dalam langkah aksi secara terencana dan terukur melalui pesantren yang dibangunnya.

Kenapa disebut identitas politik Qur’ani? Karena sebagai doktor Ilmu Politik, Nasih hafal al-Qur’an. Dalam langkah-langkah aktivismenya dari diskursus yang dibangun dari disertasi S3 nya tentang nasionalisme religious tidak hanya sekedar text book thinking. Diskursus dibangun dalam mewarnai media di MNC Muslim selama lebih dua tahun dalam program Belajar Islam membangun pemikiran-pemikirannya tentang Islam dalam perspektif sosial politik. Nasih fasih dalam memberikan dalil, baik dalam membangun ideologi di PAN tempat mendedikasikan tenaga dan pikirannya, maupun berada di Senayan untuk memberikan pikiran-pikirannya sebagai tenaga ahli DPR dan MPR.

Pada saat yang sama, pemikirannya yang tidak dapat dibatasi oleh tembok-tembok Senayan, melihat sendiri praktik politik di senayan, menjadikan Nasih ke luar dari lingkaran tersebut dengan mulai mendidik santri-santri di rumah yang ia sebut sebagai Rumah Perkaderan dan Tahfidh Monash Institute. Berbekal keyakinan langkah demi langkah membangun generasi penerus dengan mempraktikkan metodenya hafal al-Qur’an dan menjadi sarjana telah berhasil menghadirkan calon-calon pemimpin bangsa. Bekal keyakinan yang kuat, persistance, komitmen yang tinggi dalam membangun peradaban identitas Qur’ani, Nasih membagi waktunya untuk Jakarta dan Semarang, dan bahkan Rembang. Tentu saja, keberhasilan laki-laki (suami) ada seorang istri yang ikhlas dalam mendukung perjuangan langkah Nasih.

Sebagai seorang dosen—yang juga aktivis—memberikan penghargaan yang tinggi saat melihat kegigihan keyakinan Nasih dalam mengimplementasikan pemikirannya membangun pemikiran Qur’ani di tengah Islamophobia. Tantangan yang dihadapi luar biasa, hasilnya bukan dalam bentuk materi, namun melihat para santri mulai berhasil meniti kehidupan, mengisi peradaban di dalam masyarakat. Model pendidikan yang diberikan bisa saja merupakan eksperimen dari berbagai sumber. Para santri tetap kuliah di perguruan tinggi, namun di pesantren ditempa dengan latihan-latihan kepemimpinan, latihan menjadi penulis di media, menghafal al-Qur’an dengan memahami maknanya. Bahkan pada suatu waktu, Nasih berceritera bahwa opini di koran-koran daerah di Jawa Tengah diisi oleh semua santrinya secara bersamaan. Tidak mudah mengajarkan menulis kepada mahasiswa saat ini di era digital, social media, semua serba menggunakan teknologi. Membangun narasi dan logika menjadi bagian penting dalam bangunan peradaban. Sementara menghafal al-Qur’an dan mempraktikkan isinya menjadi bagian bangunan penting identitas Qur’ani tersebut.

Langkah satu sudah mencapai titik berjalan dengan rutin, maka langkah berikutnya dilakukan. Nasih juga mengajarkan bagaimana menjemput rizki untuk bisa menjadi orang yang mandiri secara ekonomi. Sering disampaikan bahwa untuk dapat mengurus politik di Indonesia harus menjadi kaya, agar tidak tergantung pada para bandar yang akan merugikan bangsa ini. Ikhtiar yang dilakukan dalam berbisnis baik menjadi petani ternak maupun usaha-usaha pertanian lainnya adalah praktik yang dijalankannya. Yang menarik adalah setiap satu langkah yang dikerjakan akan menghadirkan langkah berikutnya. Kembali ke desa menghasilkan langkah baru membangun sekolah di tingkat menengah pertama, sekolah alam yang dia disebut sekolah Planet NUFO. Nasih merupakan sedikit dari scholars yang mempertemukan gagasan teori Barat yang sudah mapan dengan mengembangkan dekonstruksi sejarah Islam. Hal itu tercermin dalam banyak tulisan-tulisannya di berbagai media maupun di kancah media sosialnya. Tema-tema yang diangkat sangatlah luas alam khasanah kehidupan sosial politik, memberikan perspektif religiositas dalam memahami ilmu pengetahuan menjadi suatu keharusan. Langkah-langkahnya diikuti dengan aksi.

Penutup: Kumpulan Tulisan para Santri Monash Institute

Tulisan ini menjadi testimoni perjalanan perjuangan Nasih dalam mendidik dan membangun identitas politik Qur’ani. Model yang dilakukan oleh Nasih tentu dapat direplika oleh siapapun di manapun di Indonesia maupun di dunia internasional. Replika tersebut menjadi penting untuk mempercepat bangunan peradaban. Ikhtiar membangun peradaban tersebut menjadi sentral di tengah politik, baik nasional maupun global, yang terus menerus berada pada situasi kompetisi pasar bebas. Politik identitas tetap penting sebagai diskursus dalam mencari sistem politik yang terbaik. Apalagi identitas Qur’ani menjadi suatu kewajiban bagi ummat Islam. Diskursus negatif terhadap identitas Islam/Qur’ani atau gelombang Islamophobia dilawan dengan tanpa kekerasan melalui model pendidikan yang dipraktikkan oleh Nasih, seorang Doktor Ilmu Politik lulusan Universitas Indonesia yang hafal al-Qur’an. Mempersiapkan pemimpin membutuhkan satu generasi. Kemampuan memimpin, kemampuan mendidik, dan komitmen yang tinggi baik secara materi, waktu bahkan keluarga juga dilibatkan dalam perjuangan membangun kader pemimpin dengan identitas politik Qur’ani merupakan langkah yang patut ditiru dan diteladani. Wallahu’alam.

Depok, 25 Maret 2020

Referensi

  1. Pidato Ketua PP Muhammadiyah Dien Sjamsuddin, Agustus 2011.
  2. Samuel Huntington, The Clash of Civilizations: And the Remaking of World Order, New York: Simon & Schuster, 2002.
  3. Edward Said, Covering Islam: How the Media and the Experts Determints How We See The Rest of The World, Vintage Book, 1997.
banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *