Spiritualitas Lama Dalam Kemasan Baru ?

Spiritualitas Lama Dalam Kemasan Baru
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Resensi buku Denny JA, Spirituality of Happiness: Spritualitas Baru Abad 21, Narasi Ilmu Pengetahuan

SPIRITUALITAS BARU ABAD 21:

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Spiritualitas Lama Dalam Kemasan Baru ?

Oleh : Dr. Budhy Munawar-Rachman

Review Buku : Denny JA

Saya merasa bersyukur sekali dapat membaca buku terbaru sahabat saya Denny JA. Buku yang berjudul Spirituality of Happiness ini ditulis dengan bahasa yang mengalir dan enak dibaca. Saya sangat menikmati mengalirnya argumen-argumen dari buku ini.

Buku ini lahir sebagai apresiasi atas berkembangnya satu bidang studi yang disebut neuroscience. Fokus dari kajian neuroscience yang dipakai Denny adalah neuroscience tentang kebahagiaan, yang sekarang dikembangkan dalam satu disiplin baru dalam ilmu psikologi yang disebut psikologi positif.

Dari tradisi ilmiah inilah Denny mencoba menggali spiritualitas baru abad 21, yang disebutnya Spirituality of Happiness, atau spiritualitas kebahagiaan yang kemudian dijadikan judul buku.

Empat Bidang Pengetahuan Manusia

Dengan berkembangnya neuroscience dan psikologi positif, perkembangan ilmu pengetahuan manusia menjadi lebih “lengkap” dalam menggambarkan sisi-sisi manusia.

Seperti diuraikan dalam buku Denny ini, ilmu pengetahuan tersebut juga telah menghasilkan sebuah “spiritualitas baru” yang melengkapi spiritualitas sebelumnya yang sudah berkembang dari rahim mitologi dan agama-agama.

Sebelum perkembangan ini, metodologi ilmu pengetahuan yang memunculkan positivisme dalam ilmu pengetahuan, telah menghasilkan suatu gambaran yang tidak lengkap, dan berat sebelah, serta memiskinkan atau mereduksi pengertian kita mengenai manusia.

Bagaimana kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih utuh mengenai manusia, kalau manusia dianggap “tidak lebih dari hewan belaka”?

Dalam agama dan filsafat tradisional, manusia telah berkembang eksistensinya, dari benda mati ke tumbuhan, ke hewan dan menjadi manusia, yang mungkin akan berevolusi ke arah makhluk yang “lebih tinggi” eksistensinya.

Semakin tinggi tingkat eksistensi suatu makhluk, semakin mengandaikan pentingnya pengertian mengenai “dunia batin”. Persis inilah yang terjadi pada manusia. Manusia adalah makhluk spiritual.

Kata “spiritual” terkait dengan dunia batin, di mana penghayatan-penghayatan batin tak teramati oleh metodologi ilmu pengetahuan modern. Psikologi adalah ilmu yang mencoba masuk ke realitas dunia batin ini secara empiris.

Ouspensky, seorang mistikus abad 20 mengatakan, “Psikologi barangkali merupakan ilmu tertua, dan sayangnya, dalam ciri-cirinya yang paling hakiki merupakan suatu ilmu yang terlupakan.”

Apa yang Ouspensky sebut sebagai psikologi dalam “ciri-cirinya yang paling hakiki” selama ini termuat dalam ajaran agama dan spiritual, dan menghilang dalam wacana filsafat dan ilmu pengetahuan baru-baru ini, setelah filsafat dan ilmu pengetahuan mencoret pentingnya filsafat, agama, dan spiritual.

Dan psikologi modern jadi sibuk pada hal-hal remeh-temeh, yang tidak lagi mau menjawab pertanyaan bagaimana manusia harus menjalani kehidupannya.

Psikologi tradisional, yang sering juga disebut dimensi mistik dari agama-agama, melihat manusia sebagai peziarah atau musafir di bumi ini untuk mencapai keselamatan, pencerahan, atau pembebasan.

Psikologi tradisional tidak berurusan dengan orang sakit yang harus menjadi normal kembali seperti psikoanalisa dan psikologi modern lainnya, tetapi sebaliknya, bagaimana manusia-manusia normal menjadi “super-normal” atau insan kamil yang konsepnya berkembang dalam mistisisme agama-agama.

Pada umumnya ajaran semacam insan kamil dituangkan dalam pengertian tradisional mengenai “jalan” (dalam Hindu: Marg/Dharma, Sanathana Dharma; dalam Buddhisme: Dharma sebagai Jalan Tengah; dalam Taoisme dan Khonghucu: Tao, dalam agama Kristen, Yesus menyebut dirinya sebagai “Akulah Jalan…”; dalam Islam: Syari`ah, Thariqah).

Semuanya berarti “jalan”. Perjalanan yang dituangkan dalam agama-agama adalah perjalanan ke sebelah dalam! Karena itu agama (religion) adalah penghubungan kembali (re-legio) manusia dengan Realitas Tertinggi, Yang Suci, yang disebut dengan berbagai nama: Tuhan, Allah, Kebenaran, Sat-Chit-Anand, Nirvana, Tao dan sebagainya, yaitu hal “Yang Sakral”, yang—dan ini menarik sekali, dan sudah diketahui lama sebelum masa modern—itu tidak dapat dicapai dengan pikiran.

Artinya Kebenaran Hakiki (al-Haqq) tidak dapat dicapai lewat pikiran, tetapi dalam “penglihatan rohani” (kesadaran diri, self-awareness, atau pencerahan).

Sampai di sini, kembali ke buku Denny, saya berpikir di mana barunya spiritualitas yang didasarkan pada ilmu pengetahuan, yang menjadi judul dan isi buku Denny JA ini?

Memang dari psikologi positif kita mendapatkan banyak pengetahuan praktis terkait yang Denny sebut meraih kebahagiaan, yang oleh Denny dirumuskan dengan formula 3P+2S. Yaitu 3P-nya: Personal Relationship, Positivity, Passion. Kemudian 2S-nya adalah: Small Winning, dan Spiritual Blue Diamond.

Dalam Spiritual Blue Diamond termuat 3 berlian biru, yaitu: Hidupkan Power of Giving, dan tumbuhkan the Oneness, yaitu rasa menyatu dengan manusia lain, dengan lingkungan sekitar dan misteri alam semesta. Banyak halaman buku Denny ini menjelaskan formula 3P+2S ini.

Tetapi menurut saya, ini tidak bisa menggantikan kerumitan dunia spiritual dari era mitologi, dan agama-agama (termasuk yang menjadi mistisisme). Paling jauh ilmu pengetahuan bisa mengafirmasi beberapa hal teknis dari pikiran-pikiran praktis spiritual dari mitologi dan agama-agama (mistisisme) itu.

Jadi spiritualitas baru yang disebut Denny, sebenarnya spiritualitas lama yang sekarang karena era ilmu pengetahuan, dikaji secara ilmu pengetahuan.

Tetapi karena ilmu pengetahuan terbatas pada metodenya yang empiris, tidak bisa menjangkau hal yang transendental, apalagi metafisis, maka spiritual yang bisa dikaji dalam ilmu pengetahuan, hanya sebatas yang sekarang berkembang dalam psikologi positif sekarang ini, tidak bisa masuk ke mistisisme yang ribuan tahun manusia bergulat dengan spiritualitas dari mitologi dan agama-agama.

Misalnya selama ini spiritualitas kebahagiaan itu dikaji oleh mitologi atau agama, dengan caranya yang paling canggih menggunakan filsafat. Seperti kata Santo Agustinus, “Tidak ada alasan bagi manusia untuk berfilsafat, kecuali untuk mencapai kebahagiaan”.

Lewat neuroscience dan psikologi positif, beberapa isu filsafat kebahagiaan ini dapat dikaji secara empiris. Tetapi ketika kebahagiaan dikaji lewat refleksi yang melampaui body consciousness, dalam istilah Bhagavad Gita, masuk ke yang lebih transenden, yaitu soul consciousness, ilmu pengetahuan sampai pada batas-batas metodisnya.

Sains tidak bisa menjelaskan kebahagiaan yang hakiki ini, tapi mistisisme raja yoga, misalnya seperti yang diuraikan Swami Vivekananda, bisa menjelaskan kebahagiaan di level kesadaran jiwa.

Sains hanya bisa menjelaskan kebahagiaan di level kesadaran badan, atau paling jauh dengan psikologi misalnya Abraham Maslow menjelang wafatnya, menghantar di pintu gerbang kesadaran jiwa, tapi untuk masuk memerlukan perspektif mistisisme.

Sampai sini, kita sebenarnya bicara tentang “demarkasi” filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan cara kerja filsafat kita masukkan di sini mitologi, agama, dan filsafat dalam arti murni.

Sejak masa modern, ilmu pengetahuan telah dipisahkan dari filsafat. Tentang demarkasi ini, saya akan memakai buku A Guide for Perplexed karya E.F. Schumacher (1977), yang akan saya pakai untuk merefleksikan buku Denny JA di bawah.

A Guide for Perplexed adalah karya E.F. Schumacher yang ingin saya sebut sebagai buku klasik filsafat, yang memberi peta jalan kehidupan, yang kita sebut “spiritualitas”.

Mengikuti Santo Agustinus di atas, Schumacher memaksudkan bukunya sebagai peta jalan mencapai kebahagiaan itu.
Dalam buku tersebut, E.F. Schumacher menyebut dua pasang masalah: “Saya” dan “Dunia”; dan “Penampilan lahiriah” dan “Penghayatan batiniah” yang menyebabkan adanya empat bidang pengetahuan manusia.

Pertama, “Saya—batin”, kedua “Dunia (engkau)—batin”, ketiga “Saya—lahiriah”, dan keempat, “Dunia (engkau)—lahiriah”. Keempat bidang pengetahuan ini menjelaskan mengenai:

(1) Apakah sesungguhnya yang sedang berlangsung di dalam dunia batin saya sendiri?

(2) Apakah yang sedang berlangsung di dalam dunia batin makhluk-makhluk lainnya?

(3) Seperti apakah tampaknya saya di dalam pandangan makhluk-makhluk lain?

(4) Apakah yang sesungguhnya saya amati di dunia di sekitar saya?

Dari keempat bidang pengetahuan ini, hanya bidang (1) dan (4), yaitu “Apakah sesungguhnya yang sedang berlangsung di dalam dunia batin saya sendiri,” dan “Apakah yang sesungguhnya saya amati di dunia di sekitar saya,” yang bisa kita mengerti dan langsung kita masuki.

Inilah dimensi spiritualitas, yang ribuan tahun dikemukakan oleh agama dan mitologi. Sementara bidang (2) dan (3), yaitu “Apakah yang sedang berlangsung di dalam dunia batin makhluk-makhluk lainnya,” dan “Seperti apakah tampaknya saya di dalam pandangan makhluk-makhluk lain,” tidak dapat kita masuki secara langsung.

Bagaimana kita bisa mengerti dan memasuki dunia (2) dan (3) ini merupakan tantangan pemikiran spiritualitas yang menarik, dan juga coba dijawab oleh spiritualitas. Kita lihat lebih detail di bawah ini.

-000-

Bidang Pengetahuan Pertama. Apakah sesungguhnya yang sedang berlangsung di dalam dunia batin saya sendiri? Bidang
pertama ini sebenarnya membahas pengenalan diri.

Socrates mengatakan, “Pertama kali saya harus mengenal diri sendiri, seperti yang dikatakan dalam Prasasti Delphi.

Ingin tahu tentang sesuatu yang bukan urusan saya, sementara saya masih tak tahu apa-apa tentang diri sendiri, akan menggelikan.

Bidang pertama ini bisa membawa kita pada pengertian: Apakah yang sebenarnya sedang berlangsung di dalam diri saya sendiri; Apakah yang memberi saya kenikmatan dan kebahagiaan; Apakah yang memberi saya rasa nyeri dan penderitaan?

Apa yang memperkuat saya, dan apa yang melemahkan saya? Bagaimana saya bisa mengendalikan hidup dan bagaimana hidup mengendalikan saya? Apakah saya mengendalikan pikiran saya, perasaan saya.

Bolehkan saya berbuat apa yang hendak saya perbuat? Apakah nilai pengetahuan batin ini bagi tuntutan hidup saya?

Menarik untuk mengingat bahwa spiritualitas dari agama-agama mitologi, agama-agama besar dunia dan filsafat sepanjang masa sampai masa sebelum modern terus berusaha menggeluti bidang pertama pengetahuan ini, sementara dunia modern sedikit sekali mengetahui tentang semua ini.

Karena mereka membuang semua itu (spiritualitas dari agama-agama mitologi, agama-agama besar dunia dan filsafat), dan menganggapnya sebagai “omong kosong”.

Pengetahuan bidang pertama ini memberikan kesadaran bahwa dunia batin manusia (yang invisible) merupakan kekuatan yang tak terbatas, dan lebih besar dari dunia yang visible (yang terlihat).

Dari sini, mengevaluasi peradaban modern, kita mengerti bahwa peradaban modern (dengan sains dan teknologinya) selama ini tak mampu berurusan dengan masalah-masalah hidup manusia yang sesungguhnya, pada tingkat eksistensi manusia.

Persis di sini kita bertemu dengan pentingnya apa yang ditekankan dalam buku Denny ini: Perlunya Spiritualitas Baru! Tapi spiritualitas baru yang bagaimana? Ini yang saya coba cari dari halaman ke halaman buku yang sangat enak dicerna ini.

Bidang Pengetahuan Kedua:Apakah yang sedang berlangsung di dalam dunia batin makhluk-makhluk lainnya? Pentingnya bidang pengetahuan kedua ini, menjadi jelas dengan kenyataan bahwa hidup manusia menjadi berhasil atau gagal bergantung pada hubungan-hubungan dengan manusia lain.

Betapa pun besarnya kekayaan dan kekuasaan yang kita punya, kalau hubungan-hubungan dengan manusia lain rusak, kita akan mendapatkan kerugian kemanusiaan yang sangat besar.

Maka mengetahui bidang kedua pengetahuan ini sangat penting, karena dari pemahaman kita yang tepat mengenai apa yang terjadi pada orang lain itulah bergantung hubungan-hubungan kita sebagai manusia.

Mengerti mengenai bidang kedua ini, menarik melihat ajaran tradisional yang mengatakan bahwa kita hanya dapat memahami orang lain, jika kita mengenal diri kita. Bahkan berkaitan dengan Tuhan pun, “Siapa yang mengenal dirinya ia mengenal Tuhannya.” Jadi pemahaman mengenai “Yang Lain” tergantung dari pemahaman mengenai diri kita sendiri.

Di sini ada soal adequatio (pentingnya kecukupan) dalam mengerti orang lain. Siapa yang tidak pernah merasa menderita, tidak mungkin bisa menghayati penderitaan orang lain. Pemahaman diri semacam inilah yang telah membuat banyak manusia-manusia berkemampuan luar biasa yang rela menanggung beban penderitaan orang lain dengan ketabahan hati yang luar biasa.

Maka mengatasi kesulitan bagaimana kita bisa mengerti orang lain secara tepat (masalah adequatio-nya), tak ada jalan lain kecuali kita memelihara secara rajin dan sistemik—terus menerus menjaga keterhubungan kita—dengan bidang pengetahuan pertama, yaitu pengenalan diri.

Melalui pengenalan diri—dan hanya melalui pengenalan diri ini saja—manusia dapat memelihara hubungan-hubungannya dengan bidang pengetahuan kedua—yaitu orang lain, bahkan makhluk-makhluk lain.

Artinya kita akan mengetahui kehidupan batin orang lain, sejauh kita mengenal kehidupan batin diri sendiri. Tanpa kerja batin ini (hubungan-hubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, yang tidak bisa dimanipulasi), maka kehidupan manusia akan penuh dengan pengobyekan orang lain, manipulasi, penindasan, dan kekejaman, yang muncul karena kita tidak mengenal batin orang lain, justru karena kita tidak mengenal diri sendiri.

Bidang pengetahuan kedua ini bisa memberi kedalaman spiritual dalam rumus 3P+2S-nya Denny, khususnya P yang pertama, yaitu Personal Relationship, dan S yang kedua: Spiritual Blue Diamond, yang berisi: lakukan kebajikan, hidupkan power of giving, tumbuhkan the Oneness yaitu rasa menyatu dengan manusia lain, lingkungan sekitar dan misteri alam semesta.

-000-

Bidang Pengetahuan Ketiga: Seperti apakah tampaknya saya di dalam pandangan makhluk-makhluk lain?

Pada dasarnya pengenalan diri setidaknya harus terdiri dari dua hal sekaligus. Pertama adalah pengenalan diri itu sendiri seperti bidang pengetahuan pertama, dan kedua adalah “Seperti apakah tampaknya saya di dalam pandangan makhluk-makhluk lain” yang merupakan bidang pengetahuan ketiga.

Tanpa bidang pengetahuan kedua, pengenalan diri bisa menjadi hal yang menyesatkan dan penuh khayalan. Jika bidang pengetahuan ketiga ini tidak tercapai, maka hubungan-hubungan dengan orang lain juga sulit akan tercapai.

Bidang pengetahuan ketiga ini mengajarkan mengenai perlunya menempatkan diri sendiri di tempat orang lain. Tetapi bagaimana bisa melakukan ini? Spiritualitas tradisional menekankan bahwa kita tidak bisa sampai pada bidang pengetahuan ketiga ini tanpa penyadaran diri. Di sini kesadaran berbeda dengan penyadaran diri.

Kesadaran berangkat dari pikiran. Sedang kesadaran diri sangat menekankan kemampuan melampaui pikiran (pikiran menurut spiritualitas terkait dengan ego, diri yang palsu).

Dari sini, kemudian masuk ke dalam altruisme (mengutamakan orang lain secara sempurna). Ajaran spiritual agama-agama seperti mencintai tetangga seperti mencintai diri sendiri, meneguhkan tentang arti penting bidang pengetahuan ketiga ini.

Maurice Nicoll menggambarkan pengertian bidang ketiga ini dalam sebuah ceritanya:
“Saya pernah membaca suatu kisah tentang seorang laki-laki yang meninggal dunia dan pergi ke dunia lain di mana ia menjumpai sejumlah orang yang beberapa di antaranya ia kenal dan sukai, serta ada yang ia kenal dan tak ia sukai.

Tapi ada seorang yang tak dikenalnya dan ia tak tahan terhadapnya. Apa saja yang dikatakan orang tersebut membuat ia berang dan jijik tingkahnya, kebiasaan-kebiasaannya, kemalasannya, cara bicaranya yang tak tulus, air mukanya, dan rupa-rupanya pula ia dapat mengintai ke dalam pikiran, perasaan, dan rahasia lelaki ini dan, sebenarnya ke dalam seluruh hidupnya.

Ia bertanya kepada orang-orang lain siapakah orang yang menjijikkan itu. Mereka menjawab: “Di atas sini kita punya cermin-cermin istimewa yang betul-betul berbeda dengan cermin di duniamu. Orang itu adalah dirimu sendiri.”

Lalu, andaikan bahwa engkau harus hidup dengan seseorang yang adalah engkau. Barangkali inilah yang harus dilakukan orang lain itu. Tentu saja kalau engkau tak mawas diri, mungkin kau bayangkan bahwa itu akan sangat menarik dan jika tiap orang sama seperti engkau, dunia betul-betul akan menjadi sebuah tempat bahagia.

Tak ada batas-batas kesia-siaan dan kesombongan. Sekarang, dengan menempatkan dirimu ke dalam kedudukan orang lain engkau pun menempatkan dirimu ke dalam pandangannya, ke dalam bagaimana ia melihatmu, dan mendengarmu, dan menghayati tingkah-lakumu sehari-hari.

Engkau melihat dirimu melalui matanya.”
Apa yang dikatakan Maurice Nicoll menggambarkan dengan tepat sekali arti altruisme itu, dan konsekuensi dari pengetahuan pertama tanpa ketiga: kesia-siaan dan kesombongan.

Tanpa bidang ketiga, seseorang mudah sekali mempelajari kesalahan-kesalahan orang lain, ketimbang diri sendiri. “Mengapa engkau melihat selumbar di mata mu, tapi tak melihat balok di matamu sendiri,” begitu ungkapan Yesus dalam Injil.

Maka memperhatikan, menemukan, memperoleh pengetahuan tentang, menerima sesuatu fakta tentang, mengetahui, mengamati, memahami orang lain, sangat penting bagi keserasian hidup.

Bidang Pengetahuan Keempat: Apakah yang sesungguhnya saya amati di dunia di sekitar saya? Bidang pengetahuan keempat menggambarkan mengenai “penampilan” dunia sekitar kita, yaitu segala sesuatu yang tertangkap oleh indra-indra kita.

Bidang ini menggambarkan apa yang sesungguhnya saya amati. Mendapatkan penjelasan bidang ini, berarti bebas dari pengandaian, pandangan, dan pra-anggapan mengenai sebab-sebab. Sehingga persis dalam bidang inilah tempat sains atau ilmu pengetahuan. Di sinilah tempat behaviorisme sejati, yaitu perilaku yang dapat diamati secara ketat.

Seluruh sains yang mengklaim ilmiah ada dalam bidang keempat ini, dan mereka kadang bisa ekstrem mengklaim sebagai satu-satunya kemungkinan untuk pengetahuan manusia (pandangan seperti ini disebut “saintisme”).

Dan sejauh menyangkut benda mati, ini tidak bermasalah, karena kita dapat melakukan percobaan dengan cara apapun. Benda-benda tak bernyawa tidak dapat dihancurkan, ia hanya dapat dialihbentukkan. Ilmu-ilmu ini disebut “ilmu-ilmu instruksional”.

Sebaliknya, pada “ilmu-ilmu deskriptif”, makhluk yang mempunyai hidup, kesadaran, apalagi kesadaran diri, sangat mudah rusak, bahkan hancur. Apabila segi kebebasan dihilangkan, sudah pasti ada kehancuran pada kehidupan yang paling dalam dari makhluk ini, khususnya manusia.

Oleh karena itu sains terutama yang menyangkut manusia harus mempertimbangkan segi kebebasan ini. Ini berarti epistemologi mempunyai kaitan dengan ontologi, yang pada ilmu-ilmu alam, dan ilmu-ilmu sosial yang mengikuti kaidah fisika, dewasa ini epistemologi dipisahkan secara tajam, bahkan tak lagi berhubungan dengan ontologi.

Akibatnya ilmu pengetahuan (misalnya sains tentang kebahagiaan yang dibahas Denny JA dalam buku ini), tidak bisa membahas “hal-hal yang mendalam”.

Kesimpulan yang bisa kita peroleh dari pemaparan sederhana mengenai empat bidang pengetahuan di atas adalah, kita temukan konsekuensi epistemologi spiritual.

Pertama, kesatuan pengetahuan spiritual akan dihancurkan, jika satu atau beberapa dari keempat bidang pengetahuan itu tak terolah. Juga jika satu metodologi yang sebenarnya hanya cocok untuk satu bidang pengetahuan, dipaksakan kepada semua bidang, seperti terjadi pada metodologi ilmu-ilmu alam (sains).

Kedua, untuk mendapatkan kejernihan, perlulah menghubungkan antara keempat bidang pengetahuan ini dengan keempat tingkat eksistensi (keempat tingkat eksistensi ini adalah benda mati, tumbuhan, binatang, dan manusia).

Ketiga, bidang keempat memang cocok untuk ilmu-ilmu instruksional, di mana ketepatan matematis bisa dicapai, tetapi tidak untuk ilmu-ilmu deskriptif.

Sementara jika ilmu-ilmu deskriptif menekankan segi ketepatan matematis seperti ilmu-ilmu instruksional, maka ilmu-ilmu deskriptif mengkhianati tugasnya yang utama: mengerti maksud, dan arti hidup manusia.
Atau yang disebut dalam buku Denny ini, pencarian makna hidup manusia.

Keempat, spiritualitas menekankan pentingnya pengetahuan diri, yaitu pengetahuan bidang pertama, yang begitu dipuji di seluruh dunia spiritualitas tradisional, berhubungan dengan telaah bidang ketiga: Kita mengenal diri kita sendiri, sebagaimana orang lain mengenal diri kita.

Dan kelima, mengenai pengetahuan sosial perlu dikembangkan sebagai cara menjalin hubungan-hubungan. Masalah memperoleh jalan tak langsung mengerti mengenai orang lain, dapat diperoleh melalui pengetahuan diri. Sering ada kesalahpahaman bahwa mencari pengetahuan diri berarti menjauhi masyarakat.

Yang tepat adalah: tidak atau gagal mencari pengetahuan diri adalah berbahaya bagi perkembangan masyarakat, karena dengan demikian ia tidak akan bisa mengerti mengenai orang-orang lain, yang akibatnya kegagalan menjalin relationship.

Ini yang juga kuat dikemukan oleh Denny dalam rumus Spiritual of Happiness-nya 3P+2S, khususnya P yang pertama, yaitu Personal relationship.

Penutup

Membaca buku Denny ini sungguh mengasyikkan. Dan saya belajar banyak, walaupun saya tidak menganggap bahwa yang Denny sebut spirituality of happiness adalah spiritualitas baru.

Menurut saya, tidak sungguh-sungguh baru. Spiritualitas ini adalah spiritualitas yang lama, tapi dikemas dalam botol baru, seperti kata pepatah Inggris, new wine in old bottles (anggur baru dalam botol lama).

Anggur barunya adalah studi-studi kebahagiaan yang dihasilkan oleh neuroscience dan psikologi positif. Sementara botol lamanya adalah kemanusiaan yang perennial.

Banyak pemikir klasik sudah memikirkan tentang jalan kebahagiaan sebagai respons untuk kemanusiaan yang perennial ini. Sebut saja satu contoh klasik Sang Buddha, 2500 tahun lalu, atau Jalaluddin Rumi, 800 tahun lalu, yang syair-syairnya mewarnai banyak halaman buku Denny ini.

Spiritualitas kebahagiaan baru yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan, tidak akan bisa memecahkan masalah perenial manusia. Ia cocok bagi manusia baru, atau manusia modern yang mengalami keterasingan (metafornya: anggur baru dalam botol baru).

Tapi bukan untuk memecahkan masalah kemanusiaan perenial yang ingin tahu bagaimana harus menjalani kehidupan ini.

Seperti kata Yesus dalam Matius 9:17, “Begitu pula anggur yang baru tidak diisikan ke dalam kantong kulit yang tua , karena jika demikian kantong itu akan koyak sehingga anggur itu terbuang dan kantong itupun hancur.

Tetapi anggur yang baru disimpan orang dalam kantong yang baru pula, dan dengan demikian terpeliharalah kedua-duanya”.

Spirituality of Happiness yang ditawarkan Denny merupakan obat untuk manusia modern yang mengalami nestapa (plight of modern man), tapi belum bisa menjawab masalah abadi manusia, Siapakah saya? Saya dari mana dan akan ke mana? Bagaimana saya harus mengisi kehidupan saya?

Saya kira sains modern tidak akan bisa menjawab pertanyaan klasik spiritualitas ini, juga tidak perlu, karena itu ranah mitologi, filsafat, agama, dan mistisisme.

Ranah yang sudah dikatakan Denny tidak digantikan oleh spiritualitas baru juga.

Saya merekomendasikan teman-teman untuk membaca dengan pelan-pelan buku Denny JA yang enak dibaca ini, supaya insigh-tnya dapat meresap dalam pikiran dan spirit kita.

Selamat ya Denny, yang sudah berhasil mengungkap kebutuhan spiritualitas baru di era akhir homo sapiens.[]

Budhy Munawar-Rachman adalah salah seorang admin Esoterika-Forum Spiritualitas.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *