Good Looking, No Negative Thinking

good looking no negative thinking
Chusnatul Jannah
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Chusnatul Jannah 

Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

SAAT kita bertemu seseorang, apa yang akan dilihat pertama kali oleh orang lain? Penampilan? Perilaku atau cara bicara kita? Sebelum memulai suatu pertemuan, kesan pertama memang harus baik.

Kesan itu biasanya dirupakan dalam bentuk penampilan dan perilaku kita. Jika penampilan kita baik, orang akan merespon baik pula. Meski penampilan baik, tapi perilaku atau adab kita buruk, orang lain tidak akan merespon baik. Itulah pentingnya penampilan dan adab saat bertemu.

Good looking harus ada dalam diri setiap muslim. Sebab, Islam mencintai keindahan, kebersihan, kerapian, dan kebaikan. Apalagi bagi mereka yang menyampaikan dakwah Islam. Good looking itu harus dimiliki untuk memberikan bukti bahwa Islam itu mengajarkan kesantunan, kasih sayang, dan kelembutan. Agar orang yang kita dakwahi merasa takjub kepada Islam. Dengan harapan, umat mudah menerima nasihat yang berasal dari Islam. Hanya saja good looking ini disalahartikan beberapa kalangan. Merek menyebutnya sebagai alat menjerat pemuda muslim untuk menerbar benih radikal di kalangan umat Islam.

Entah karena apa. Narasi radikalisme kembali nyaring terdengar. Menteri Agama Fachrul Razi menyebut masuknya kelompok berpaham radikal ke masjid di lingkungan pemerintahan dan masyarakat diantaranya melalui penempatan orang yang berpaham radikal dengan kemampuan keagamaan dan penampilan yang tampak mumpuni.

“Caranya masuk mereka gampang; pertama dikirimkan seorang anak yang good looking, penguasaan Bahasa Arabnya bagus, hafiz (hafal Alquran), mereka mulai masuk,” kata Fachrul dalam webinar bertajuk ‘Strategi Menangkal Radikalisme Pada Aparatur Sipil Negara’, di kanal Youtube Kemenpan RB, Rabu (2/9), seperti dilansir cnnindonesia.com, 3/9/2020.

Sangat disayangkan bila ucapan itu terlontar dari seorang menteri agama. Apa yang disebut radikal sendiri masih bias. Tapi narasi ini terus saja diputar berulang kali dengan dalih memerangi radikalisme. Semua agama tak terkecuali Islam, tentu mennetang cara bar-bar atau kekerasan dalam menyampaikan ajarannya. Hanya saja, mengapa ketika bertemu kata ‘radikal dan radikalisme’ selalu saja disematkan pada Islam dan pemeluknya? Seolah benih radikal dan paham radikalisme itu hanya tumbuh subur dalam Islam. Sehingga orang akan berpikir bahwa Islam itu agama radikal. Bukankah hal ini akan memunculkan stigma negatif dan gejala Islamofobia di masyarakat?

Padahal, faktanya, korban radikalisme itu justru dialami umat Islam. Islam dimonsterisasi sedemikian rupa hingga memicu tindakan radikal. Seperti pembakaran alquran di Norwegia, pembuangan alquran di closet, pembuatan karikatur Nabi, diskriminasi muslim yang menimpa muslim Uighur di Cina, muslim Rohingya di Myanmar, muslim India, dan sebagainya. Mengapa pelakunya tak pernah disebut radikal dan memiliki paham radikalisme? Adakah dunia pernah menyebut budha radikal, hindu radikal, atau kristen radikal? Belum pernah ada. Tapi jika melihat Islam, selalu ada yang menyebutnya Islam radikal, Islam fundamental, atau kelompok ekstrimis.

Standar ganda ‘radikal’ yang disebarluaskan Barat untuk mendeskriditkan Islam rupanya sedang diadopsi di negeri ini. Hal ini nampak dari program deradikalisasi dan narasi radikalisme yang terus dibunyikan. Sungguh penilaian tidak adil dan terkesan memojokkan. Kalaulah ada segolongan umat yang menyeru pada Islam, agar ia menjalani kehidupan ini berdasarkan syariat Islam, salahnya dimana?

Kalau ada pemuda good looking datang menyebarkan dakwah di lingkungannya agar para pemuda kembali pada jati dirinya sebagai hamba, bukankah harusnya diapresiasi? Daripada melihat pemuda kita terjerumus pada pergaulan salah seperti berzina, narkoba, tawuran, mencuri, dll. Kok malah dicurigai? Seolah ingin berkata, “Penampilan boleh alim, tapi pemikirannya berbahaya,” Itulah anehnya manusia. Orang berdakwah Islam secara utuh diburu. Perilaku buruk seperti korupsi, curang, khianat, zalim, dibiarkan berlalu.

Lebih baik Kemenag lebih memfokuskan diri membina dan mendidik generasi kita agar dibekali pendidikan agama yang benar. Agar mereka tak salah jalan. Agar mereka tak tersesat dalam kemaksiatan. Ucapan pemimpin itu digugu dan ditiru. Maka dari itu, jangan keburu berpikir negatif melulu. Islam tidak radikal. Radikalisme bukan Islam.

Islam is good. Baik good looking (luaran) nya maupun bagian isi ajarannya. Karena dalam Islam diajarkan semua hal. Dari bangun tidur hingga bangun negara. Dari masuk WC hingga menjadi pejabat negara. Islam tak sekadar persoalan salat, zakat, puasa, dan haji. Tapi Islam juga mengatur sistem politik, ekonomi, sosial, hingga pemerintahan. Jika ada pendakwah menjelaskan ajaran Islam dari A sampai Z, lantas apakah otomatis orang tersebut langsung dicap radikal? Maka dari itu, semestinya Menag lebih berhati-hati dalam berucap. Sebab, menyepadankan paham radikal hanya kepada Islam, tanggungjawabnya berat di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena, Islam itu bersumber dari Allah, Dzat yang memberi kehidupan ini. Wallahu a’lam.

Penulis tinggal di Pasuruan Jawa Timur.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar