Kekuatan Islam Menurut Misionaris

Kekuatan Islam Menurut Misionaris
ilustrasi : kekuatan islam
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. Adian Husaini, Penulis pengasuh PP At-Taqwa College Depok (ATCO).

Hajinews | PARA orientalis Barat memiliki sejumlah motivasi dalam melakukan studi Islam. Ada yang bermotif mensukseskan penjajahan, seperti Snouck Hurgronje. Ada yang bertujuan memuluskan misi Kristen di dunia Islam, seperti Samuel Marinus Zwemmer. Di tahun 1911, Zwemmer menerbitkan jurnal Misi Kristen berkala bernama “The Moslem World”.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Melalui jurnal inilah, kaum misionaris meneliti ajaran Islam dan umatnya. Kajian itu tentu saja digunakan untuk kepentingan misi Kristen. Inilah salah satu contoh kajiannya. Dalam ‘The Moslem World’, edisi Oktober 1946, Dr. Samuel M. Zwemmer, menggambarkan inti kekuatan Islam. Selama kekuatan itu ada, maka dunia Islam akan sulit ditaklukkan oleh misi Kristen.

Inilah inti kekuatan Islam menurut Zwemmer: “The chief factor in this problem, however, is the character of Islam itself as a theistic faith… The strength of Islam is not in its devotion to Mohammed, nor in its ritual and pilgrimage, not even in its innate political character, but in its tremendous and fanatical grasp on the one great truth – monotheism – an idea which holds the Moslem world even more than Moslems hold it.”

Jadi, menurut Zwemmer, kekuatan Islam terletak pada karakteristik Islam itu sendiri; pada konsepsi Islam, pada “the character of Islam”, sebagai agama Tauhid. Karena itu, tidak heran, jika kemudian salah satu cara untuk menghancurkan umat Islam adalah dengan cara merusak karakter ajaran Islam itu sendiri.

Yakni, dengan membuat rumusan ‘ajaran Islam palsu’, yang membuat kaum muslim kehilangan jati dirinya sebagai muslim; yang membuat umat Islam tidak yakin dengan Islam, dan enggan berpegang teguh dengan ajaran Islam. Ibarat makanan, nilai gizinya hilang. Akhirnya, makanan itu bukan menyehatkan, tetapi justru melemahkan tubuhnya.

Meskipun berusaha sekuat tenaga, selama ratusan tahun, penjajah belum berhasil meruntuhkan “bangunan pemikiran Islam”. Mereka memang menguasai ekonomi, politik, dan militer kaum muslimin.

Namun, mereka belum berhasil meruntuhkan fondasi bangunan umat Islam. Umat Islam masih merdeka dalam menentukan pendidikan dan pemikirannya sendiri.

Para ulama, kiai, pimpinan dan guru-guru pesantren masih mampu dan berani memilih jalan merdeka dalam pendidikan. Mereka merumuskan sistem dan kurikulum pendidikannya sendiri, sesuai tradisi pendidikan Islam selama ratusan tahun. Mereka lebih mendahulukan adab daripada ilmu, seperti kata-kata terkenal Umar bin Khathab r.a.: ‘taaddabuu tsumma ta’allamuu’ (beradablah kalian, kemudian berilmulah kalian).

Para ulama dan para guru dahulu memegang prinsip pendidikan Islam itu dengan teguh. Keikhlasan dan adab dalam mencari ilmu ditegakkan. Jangan sampai anak diberikan ilmu yang tinggi, sebelum adab dan akhlaknya baik. Itu untuk mencegah lahirnya para penjahat berilmu tinggi.

***

Alhamdulillah, kini begitu besar gairah kaum muslimin untuk memasukkan anak-anaknya ke lembaga-lembaga pendidikan Islam. Tetapi, masalahnya belum berhenti sampai disitu. Godaan penyakit cinta dunia begitu kuat mencengkeram. Ilmu dipisahkan dari amal dan akhlak mulia.

Karena tekanan opini yang begitu kuat, jutaan orang tua muslim ‘terpaksa’ menyerahkan anak-anaknya yang pintar untuk dididik di lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang jelas-jelas mengarahkan mahasiswanya menjadi manusia pecinta dunia (hubbud-dunya). Sebab, kampus itu dianggap lebih bergengsi dan menjanjikan masa depan yang lebih baik.

Maka, renungkan lagi ungkapan Snouck Hurgronje: “Dengan pendidikan dan pengajaran, kaum muslimin dilepaskan dari belenggu agamanya.”

Sejatinya, sangatlah tidak lazim jika lembaga pendidikan Islam justru tunduk pada kriteria-kriteria sekular-liberal untuk meraih predikat keunggulan. Adalah musibah yang sangat dahsyat, jika kampus-kampus berlabel Islam tidak menjadikan aspek iman, taqwa, dan akhlak mulia sebagai kriteria utama keunggulan dan kelulusan sarjananya.

Selama masih membanggakan lembaga pendidikan sekuler-liberal, maka suatu organisasi Islam bisa kehilangan kader-kader unggulannya. Sebab, mereka tidak percaya dengan kualitas Perguruan Tinggi mereka sendiri. Mereka lebih percaya dan lebih bangga kuliah di Perguruan Tinggi sekuler.

Tahun 1969, menyusul kekalahan Arab dalam Perang Tahun 1967, Dr. Yusuf Qaradhawi menulis satu buku berjudul: ”Dars an-Nukbah ats-Tsaniyah: Limadza Inhazamnaa wa Kaifa Nantashir.” (Diterbitkan di Indonesia tahun 1988 oleh Pustaka Bandung dengan judul: ”Mengapa Kita Kalah di Palestina?”).

Dalam bukunya, al-Qaradhawi menegaskan: ”Satu hal yang amat saya tegaskan di sini adalah keharusan kita untuk kembali kepada Islam. Islam yang benar. Islam yang menyeluruh yang mengembalikan diri kita – sebagaimana yang dulu pernah terjadi – menjadi sebaik-baik ummat yang pernah dihadirkan untuk seluruh ummat manusia. Tanpa kembali kepada Islam, maka nasib yang akan kita alami, sungguh amat mengerikan, dan masa depan pun akan demikian gelap gulitanya.”

Dengan pendidikan yang benar, dulu, kualitas kaum muslimin jauh di atas umat lain. Meski kaum muslim merupakan minoritas. Dalam Perang Yarmurk, puluhan ribu pasukan Islam mampu menaklukkan ratusan ribu pasukan Romawi. Dengan kualitas dan keyakinan yang tinggi, kaum muslim mampu memimpin Andalusia selama hampir 800 tahun!

Dengan pendidikan yang benar, generasi santri 1945 sanggup mengusir pemenang Perang Dunia kedua. Dan kini, jika dididik dengan benar, InsyaAllah, ribuan murid, santri, dan mahasiswa kita akan sanggup mengatasi berapa pun jumlah penjajah dan penjarah yang datang ke negeri kita!

Sebab, kemenangan bukan ditentukan jumlah! Tapi, oleh datangnya pertolongan Allah. Allahu Akbar! (Depok, 7 Februari 2021).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *