Partai Demokrat Dan Ambiguitas Demokrasi

Partai Demokrat Dan Ambiguitas Demokrasi
KLB Partai Demokrat
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Demokrasi Indonesia dalam Ambiguitas

Kegagalan sistem demokrasi di Indonesia berhubungan erat dengan ambiguitas para pemimpin bangsa. Pemimpin paling ambigu adalah Soekarno. Ambiguitas Soekarno itulah yang memisahkan dirinya dari Hatta. Hatta tidak bisa menerima keinginan Soekarno untuk menjalankan Demokrasi Terpimpin.

Soekarno mengklaim bahwa semua aliran politik harus dan bisa disatukan. Maunya semua orang, baik yang berlatar-belakang nasionalis, agama atau komunis, bersatu-padu membangun negara di bawah satu bendera ideologi: Nasakom. Klaim itu tidak punya dasar empiris, tidak ada di dunia yang seperti itu. Andaikatapun Nasakom dianggap sebagai konsep idiosyncratic (istimewa, beda sendiri) yang tidak butuh bukti empiris, konsep itu tidak punya komprehensibilitas (tidak mungkin dimengerti). Padahal ideologi membutuhkan koherensi, sementara Nasakom berisi ide-ide yang saling bertabrakan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Ancaman inkoherensi itulah yang menurut Soekarno membutuhkan konsep Demokrasi Terpimpin. Ia melihat demokrasi an sich menciptakan situasi pertentangan permanen di masyarakat. Oleh karena itu demokrasi membutuhkan pemimpin untuk menyatukan dan mengarahkan semua kekuatan politik ke satu tujuan. Soekarno melihat pemimpin itu adalah seorang figur, yaitu dirinya sendiri. Untuk tujuan menyatukan kekuatan politik itu, Soekarno membiarkan praktek kultus individu yaitu praktek mendewakan pemimpin seolah-olah tidak bisa berbuat salah.

Ambiguitas Soekarno dalam memahami demokrasi terjadi lagi pada diri Soeharto. Dalam tekadnya untuk menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen Soeharto, presiden kedua, mempraktekkan Demokrasi Pancasila yang juga idiosyncratic. Dalam demokrasi pancasila itu Soeharto memasukkan militer sebagai pelaku politik. Pelembagaan peran politik militer menyebabkan para pakar ragu menyebut Indonesia sebagai negara demokrasi, kebanyakan menganggap Indonesia sebagai negara otokratis dengan kepemimpinan militer.

Namun berbeda dengan Soekarno yang mengijinkan kultus individu, Soeharto menolaknya. Soeharto bahkan menolak gelar doktor kehormatan yang akan diberikan oleh Universitas Indonesia. Satu-satunya gelar yang diterimanya hanyalah Bapak Pembangunan yang diberikan oleh MPR pada tahun 1983.

Di dalam wacana publik demokrasi pun sering ditanggapi secara ambigu, tidak dilarang tetapi tidak juga didukung. Tidak sedikit orang yang menganggap demokrasi sebagai produk asing. Lucunya kemudian ada diantara mereka menawarkan sistem khilafah, yang sama juga produk asing. Di sisi lain ada yang mengajukan “sistem demorasi asli” yang menyusun sistem politik ke dalam bentuk-bentuk perwakilan hirarkis dari RT/RW sampai ke tingkat nasional.

Sekarang ini ambiguitas itu justru semakin menjadi-jadi. Presiden Jokowi dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa “demokrasi Indonesia adalah demokrasi gotong royong yang tidak membutuhkan oposisi”. Dengan nada yang sama Prabowo, ketua umum Partai Gerindra, pernah pengatakan bahwa “dalam sistem presidensiil tidak ada oposisi”. Kedua tokoh itu jelas bersikap mendua terhadap demokrasi. Rocky Gerung mengritik keduanya dengan mengatakan bahwa hakekat dari demokrasi ada dalam sikap oposisi. Meniadakan oposisi sama artinya dengan menghapuskan demokrasi.

Apa yang dikatakan Rocky Gerung sesuai dengan apa yang dikatakan filsuf-filsuf politik terkemuka seperti John Stuart Mill, John Milton, Brandeis, Karl Popper dll. Gagasan utama mereka adalah bahwa pertentangan antar-gagasan dibutuhkan dalam pencarian kebenaran (process of seeking truth). Semakin intens persaingan itu semakin kuat dorongan orang untuk memperoleh kebenaran yang sebenar-benarnya. Holmes menggunakan istilah pasar bebas gagasan (marketlace of ideas) untuk menjelaskan persaingan gagasan. Semua pemikiran bersaing di dalam pasar dimana pada akhirnya ide terbaik akan muncul sebagai pemenang. Agar pasar tersebut berfungsi memberikan hasil terbaik (terefisien), harus dijamin adanya free flow of ideas. Artinya, di dalam rejim demokrasi tidak boleh ada pikiran-pikiran yang dibungkam.

Penutup

Di dalam situasi dimana para elit politik menggemakan keraguan kepada demokrasi, sikap dan kebijakan anti-demokrasi terutama dari sisi negara menjadi konsekuensi logisnya. Kudeta di Partai Demokrat adalah sebuah contoh bagaimana elit politik sama sekali tidak menghormati dan meninggalkan nilai-nilai demokrasi.

Tetapi ada satu hal yang berbeda dalam kasus kudeta demokrasi di Demokrat ini dibandingkan dengan apa yang terjadi di Golkar, PPP, PAN dan Berkarya. Kudeta Moeldoko pertama kali diungkap oleh grass root Demokrat sendiri. Mereka adalalah kader-kader Demokrat di tingkat DPC yang dibujuk untuk mendukung kudeta dengan iming-iming seratus juta. Mereka inilah yang melawan dengan membeberkan rencana kudeta tersebut kepada DPP Demokrat.

Moeldoko dkk tidak cuma menghadapi AHY dan SBY. Ia harus menghadapi grassroot demokrat, orang-orang di bawah yang sehari-hari menjadi mesin suara Partai Demokrat. Situasinya kurang lebih serupa dengan peristiwa Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli 1996), ketika Soeryadi mengkup Megawati. Barisan akar-rumput PDIP bangkit dimana-mana memberikan perlawanan. Hampir semua organisasi masyarakat sipil memberikan dukungan kepada Megawati. Sejarawan Peter Kasenda menyebut momen itu sebagai Peristiwa 27 Juli 1996: Titik Balik Perlawanan Rakyat (2018).

Apakah kudeta Moeldoko kepada AHY akan menjadi titik balik perlawanan terhadap penguasa, seperti 25 tahun yang lalu. Wallahualam bissawab

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *