Peranan Militer
Militer, memang, harus diakui memiliki sejarah panjang dalam menggenggam kekuasaan. Militer telah lama menjadi aktor politik yang sangat berpengaruh. Dalam sebuah studi, Mary Callahan menyatakan bahwa militer (Tatmadaw) bukan sebuah gerakan politik berpakaian militer. Militer bukan ekspresi sebuah gerakan politik bersenjata atau refleksi kultur otoritarian di masyarakat. Mereka, pertama dan utama, adalah tentara pejuang yang telah dipandu oleh logika memerangi ancaman terhadap persatuan dan kedaulatan negara (Kristian Stokke, Roman Vakulchuk, Indra Øverland; 2018).
Daftar musuh yang mereka susun panjang. Yakni mulai dari kolonialisme Inggris, pendudukan Jepang (PD II), ancaman pendudukan Cina karena pangkalan Kuomintang di Myanmar, pemberontakan komunis dan etnis, mobilisasi pro-demokrasi dan ancaman pendudukan AS. Seiring waktu, ketakutan terhadap musuh yang sebenarnya dan yang dianggap musuh telah ditambah dengan ketakutan akan masa depan militer dan ancaman balas dendam setelah peralihan rezim, sebagaimana tercermin dalam ‘klausul kekebalan’ dalam Konstitusi 2008.
Karena militer semakin menegaskan kekuasaan mereka, yang sudah mereka pegang sejak merdeka 1948. Seiring berjalannya waktu, militer telah menjadi kekuatan politik yang mengedepankan kepentingannya sendiri. Militer juga menjadi basis pembentukan elite ekonomi, dan mengembangkan kepentingan ekonomi dalam kelangsungan kekuasaan militer – seperti terlihat pada kuatnya peran politik dan ekonomi para panglima daerah dalam tubuh militer.
Menurut temuan “Special Rapporteur” PBB ada dua perusahaan yang memiliki hubungan dengan militer bahkan dimiliki militer. Yakni, Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC). Pemilik perusahaan itu antara lain Panglima Tertinggi Jenderal Min Aung Hlaing—pemimpin kudeta—dan Wakil Panglima Tertinggi Wakil Jenderal Senior Soe Win. Dari perusahaan itulah antara lain dana pensiun militer diperoleh.
MEHL dan MEC memiliki setidaknya 120 bisnis yang terlibat dalam segala hal mulai dari konstruksi hingga farmasi, manufaktur, asuransi, pariwisata, dan perbankan. Kedua perusahaan, bersama dengan setidaknya 26 anak perusahaan mereka, memegang lisensi untuk penambangan batu giok dan ruby di negara bagian Kachin dan Shan.
Dengan semua itu, ditambah sejarah panjang keterlibatan politik, militer menguasai Myanmar. Mereka inilah yang harus dihadapi rakyat sipil dan kaum muda. Pertanyaannya tentu bagaimana akhir dari krisis di Myanmar saat ini.
Militer memang, memiliki pengalaman dan sumber daya, dan selama ini mampu mengatasi rakyat. Namun, perlawanan rakyat saat ini berbeda. Kelompok perlawanan yang dimotori kaum muda tersebar di mana-mana dan bersatu. Dan, mereka melihat dan meyakini inilah kesempatan emas untuk mendorong tentara ke barak dan membangun demokrasi. Karena itu, penting bagi dunia luar untuk mendengarkan suara rakyat yang tertindas, dan menunjukkan solidaritas, serta dukungan pada mereka untuk menghentikan pembunuhan kekerasan dan pembunuhan brutal oleh militer.