Hipokrisi Demokrasi

Hipokrisi Demokrasi
Hipokrisi Demokrasi
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Aniyatul Ain (Pegiat Literasi Islam)

Saat manusia mulia dihina, yaitu Nabi Muhammad SAW, sudah selayaknya kaum Muslim bersikap ketika nabinya dilecehkan. Dalam pandangan Islam, sosok Nabi Muhammad Saw teramat sakral. Hingga tidak layak mewujud dalam bentuk visual (gambar). Cukuplah kita mengimani dengan kebersihan hati serta diiringi kebulatan tekad agar bisa menjadikan sosok Nabi sebagai sebaik-baik teladan. Kita patut marah, tatkala para pemuja kebebasan menista Sang Junjunan. Sikap tersebut tidak lahir dari emosional semata, tetapi nash syariatlah pedomannya. Sebagaimana tutur Nabi dalam sebuah hadis: Belum sempurna iman salah seseorang diantara kalian, hingga ia menjadikan aku lebih dia cintai daripada orang tuanya, anaknya dan segenap manusia. (HR. Al-Bukhari).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Mencintai Nabi adalah fardhu. Allah telah memerintahkan kita agar rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya menjadi prioritas di atas kecintaan kepada yang lain, sebagaimana firman-Nya dalam Surat at-Taubah ayat 24. Tanpa Nabi, apalah arti dunia ini. Berkat perjuangan Nabi dan para sahabatnya, Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia. Manusia mengenali Sang Khalik dan tunduk kepada syariat-Nya dengan berserah diri. Di bawah kepemimpinan Nabi Saw, ketundukan umat manusia kepada semua hukum-hukum-Nya berdampak kepada terwujudnya peradaban manusia yang luhur, yaitu peradaban yang terbimbing wahyu yang tegak berdiri kurang lebih 13 abad lamanya.

Pembelaan Emmanuel Macron saat itu kepada Samuel Paty tentu tanpa alasan. Sampai-sampai, Paty Sang Penghina Nabi diberi gelar kehormatan oleh Pemerintah Perancis sebagai Pahlawan Diam dan Wajah Republik. Hal ini karena Perancis sangat sekuler. Duta Besar Perancis untuk Indonesia, Olivier Chambard, sebagaimana disarikan dari situs Kedutaan Perancis menjelaskan, bahwa Macron senantiasa mengingatkan pentingnya Lacit (Sekularisme Perancis) yang merupakan landasan kebebasan agama. Sekularisme ini menjadi landasan negara. Atas dasar ini, Pemerintah Perancis senantiasa berupaya membela nilai-nilai sekuler, menjaga netralitas negara terhadap semua agama.

Sebagaimana kita tahu, Perancis dan negara-negara Eropa lain pada abad pertengahan tenggelam dalam masa kegelapan (The Dark Age). Pihak gereja dan para raja yang diktator, begitu mendominasi di segala bidang pada waktu itu. Dampaknya, kehidupan masyarakat Eropa mengalami kemunduran, ilmu pengetahuan tidak berkembang, intelektualitas menurun, penindasan demi penindasan kepada masyarakat Eropa terjadi secara terus-menerus. Pada akhirnya kaum cendekiawan bangkit menyerukan perubahan dengan jalan kompromi. Gerejawan mengurusi agama, cendikiawan mengurusi negara. Pengaturan urusan negara dengan menerapkan sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat, yang kita kenal dengan demokrasi. Asas pemisahan agama dalam kehidupan inilah yang kita kenal dengan istilah sekularisme.

Sampai saat ini, negara Eropa pada umumnya memegang teguh asas sekularisme ini. Bahkan, dijadikan sebagai asas negara. Urusan agama hanya ditemukan di sudut-sudut privat manusia dengan Tuhannya saja. Adapun untuk pengaturan kehidupan secara umum, maka diserahkan kepada penguasa yang konon telah dipilih oleh rakyat lewat demokrasi. Demokrasi sangat menjunjung tinggi kebebasan, antara lain: kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berkepemilikan dan kebebasan bertingkah-laku (berekspresi). Hanya saja, kebebasan yang dipuja di Eropa dan di negeri Barat lainnya itu bermata duaalias hipokrit, yakni hanya berlaku bagi Barat saja. Bagi kaum Muslim, kebebasan itu tak ubahnya hanya slogan belaka. Ketika umat Islam ingin menjalankan agamanya dengan tenang, menghormati dan mengimani Nabinya dengan tidak divisualkan, Barat menabraknya dengan serampangan.

Dalam kasus kematian Paty waktu itu, kalau memang Perancis mengklaim sebagai sebuah negara yang menjunjung tinggi kebebasan, seharusnya konsisten mengizinkan seluruh warga negaranya mengeskpresikan kebebasan dengan menjaga hak-haknya. Namun, teori tak seindah praktiknya. Faktanya, kebebasan bagi kaum Muslimin itu hanya ilusi di Perancis dan negeri-negeri Barat pada umumnya. Pelarangan jilbab dan niqab marak terjadi di sana. Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam, sering dibakar. Sampai-sampai, penghinaan kepada Nabi Muhammad Saw, sosok yang sangat dimuliakan umat Islam, dilegalkan atas nama kebebasan berekspresi. Hal ini semakin menunjukkan kepada kita, wajah asli demokrasi yang sesungguhnya. Bahkan yang terbaru, Macron tidak memberi ruang kebebasan berekspresi bagi yang menghina dirinya. Sebagaimana kasus Flori yang dipolisikan oleh Macron. Islam boleh dihina, politisi dan penguasa tidak boleh dihujat. Kebebasan hanya diperuntukkan bagi mereka yang mendukung penguasa yang menerapkan nilai-nilai Barat. Adapun untuk lawan politik dan kaum Muslim, terlihat wajah hipokrit Barat yang sesungguhnya. Inilah hipokrisi demokrasi yang sesungguhnya.

Demokrasi yang digadang-gadang dapat menjamin kebebasan masyarakat dan dianggap sebagai sistem pemerintahan yang ideal, nyatanya tidak sesuai realita. Demokrasi hanya alat untuk memperalat dan menjajah kaum Muslim. Menjajah dari segi pemikiran, gaya hidup, ekonomi bahkan ideologi. Jika kita refleksikan ke negeri ini, bukankah banyak UU (Undang-Undang) produk sistem demokrasi yang digolkan penguasa sarat kepentingan asing? UU Cipta Lapangan Kerja contohnya. Tetap disahkan padahal rakyat serempak menolak. Inilah bukti bahwa demokrasi adalah jalan untuk menjajah negeri kita.

Selain itu, jika kita berkaca pada sejarah, Perancis dan negara-negara Eropa lainnya memang punya sentimen ideologi sejak dulu terhadap umat Islam. Kebencian dan kedengkian mereka selalu ditampakkan baik lewat ucapan maupun tindakan. Bahkan, Perancis dan Inggris tercatat sebagai negara yang ikut meruntuhkan kekuasaan Islam yang saat itu berpusat di Turki Usmani. Ungkapan Muslim yang baik adalah saat ia tidak lagi menjadi seorang Muslim, yang diucapkan Francois Burgat (politikus Perancis) semakin memperjelas wajah asli mereka yang sentimen terhadap Islam. Mereka sekuat tenaga berupaya untuk mencerabut Islam dari jiwa-jiwa umat Islam dengan berbagai cara. Maka tidak heran, penistaan demi penistaan kerap dialami umat Islam di negeri yang memuja kebebasan. Hanya dengan kekuasaan Islam melalui kesatuan politik Islamlah, yang dapat mengakhiri segala arogansi Perancis dan negeri-negeri Barat pada umumnya. Sebagaimana dulu kekuasaan Islam dibawah kesultanan Abdul Hamid II yang berpusat di Turki Usmani, yang mampu menggagalkan drama teater karya Voltaire yang melecehkan Islam. Wallahualam.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *