Utang Nyaris Rp 7000 Triliun, Indef Ingatkan Ketahanan Fiskal Terbatas

Ilustrasi utang (Foto:Kontan)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Jakarta, Hajinews.id – Institute for Development Of Economics and Finance (Indef) menyoroti utang pemerintah pada periode Januari tercatat Rp 6.919,5 triliun atau setara 39,63% dari produk domestik bruto (PDB). Adapun rasio utang menurun dibandingkan Januari 2021 yang tercatat 40,28%.

Ekonom Indef Riza Annisa Pujarama memproyeksikan, pembiayaan APBN melalui utang mencapai Rp 7.500 triliun tahun ini. Perhitungan ini berdasarkan realisasi utang pemerintah pada akhir Januari 2022. “Namun utang tersebut belum termasuk utang BUMN, yang jumlahnya di atas Rp 2.000 triliun. Secara rinci, proyeksi total jumlah utang publik (utang pemerintah plus utang BUMN) tercatat pada triwulan III-2022 mencapai Rp 8.924,27 triliun,”ujarnya, Kamis (24/3/2022).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dengan beban utang yang terus meningkat, ia memperkirakan tingkat fleksibilitas fiskal yang semakin ketat dari keuangan negara. Alhasil total pembayaran bunga utang di APBN pada 2022 menjadi naik sebesar Rp 405,9 triliun pada 2022 atau 20% dari total belanja pemerintah pusat.

Sebagaimana diketahui, rasio utang yang diatur oleh Undang-Undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara adalah maksimal 60% terhadap GDP, dan saat ini rasio utang pemerintah masih berada di level 39,63%.

Kendati begitu, kata Riza, yang menjadi masalah bukan terkait rasionya, namun kemampuan pengumpulan pajak untuk meningkatkan (tax ratio) yang masih rendah dibandingkan negara-negara emerging market. Tak hanya itu, sisi imbal hasil yang diberikan pemerintah juga dinilainya besar dibandingkan negara lain, sehingga akan membebani pemerintah untuk membayar beban utang.

“Sementara itu, sumber pendanaan negara masih didominasi dari SBN yang bunganya amat tinggi yakni 6,74% yield government bond untuk 10 tahun. Thailand sendiri yield per tahun hanya 2,23%,”ujarnya.

Berdasarkan data IMF 2021, Debt Service Ratio (DSR) Indonesia berada pada 41,4%, DSR Thailand 2021 capai 55,9%, tapi yield Thailand hanya 2,23% dan yield Indonesia 6,74%. “Hal itulah yang menyebabkan beban pembayaran bunga utang Indonesia sangat tinggi yakni Rp 405, 9 triliun pada 2022,”ucapnya.

Adapun Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25 bps, Rabu (16/3). Kenaikan suku bunga ini akan mendorong naiknya yield US Treasury AS yang saat ini mencapai 2,3% dan yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun mencapai 6,7%.

“The Fed sudah menaikkan sukubunganya, maka ‘rebutan’ dana akan semakin keras bersaing, karena yield (pemerintah) akan ditetapkan semakin naik, otomatis beban utang ke APBN akan semakin berisiko,” tutur dia.

Dengan demikian, ia menekankan, utang yang ditarik harus digunakan secara produktif dan tetap dalam pengawasan. Pasalnya, selama ini (utang yang ditarik) terkesan tidak efisien.

Oleh karena itu, penggunaan utang harus lebih transparan dan harus dilakukan asesmen apakah sudah sesuai peruntukan anggaran atau memenuhi target. Juga, harus dibarengi dengan perbaikan penerimaan sektor perpajakan.

Sementara itu, Ekonom Senior Indef Didik J Rachbini mengatakan, utang yang meningkat akan berdampak pada keseimbangan ekonomi makro. Terlebih dengan adanya tapering off maka dana akan menjadi langka dan akan semakin kesulitan membayar bunga utang.

Ia mengatakan, bahwa terdapat kesalahan perspepsi dalam membandingkan utang Jepang dan negara maju. Lantaran Jepang hanya membayar bunga 0.2% per tahun. Contoh, apabila Jepang berutang Rp 10.000 triliun maka hanya membayar bunga utang Rp 20 triliun per tahun.

“Silakan dibandingkan dengan Indonesia yang beban pembayaran bunga utang 2022 sudah mencapai Rp 405,9 triliun. DPR atau parlemen tidak berani mengkritisi karena takut, sementara banyak janji ekonomi pemerintah yang meleset, misalnya janji pertumbuhan ekonomi 7% setahun ternyata amat jauh dalam realisasinya,” kata dia.

Selanjutnya, sisi pencapaian rasio penerimaan pajak dalam negeri sangat jauh karena hanya 9% per tahun terhadap PDB. Padahal, pada zaman orde baru rasio pajak bisa mencapai 14% per tahun. “Tax ratio amat buruk jika dibandingkan dengan Thailand yang 18% dan negara-negara Skandinavia yang mencapai 25% tax ratio nya,”kata dia.

Utang BUMN

Selanjutnya, ekonom Indef Dzulfian Syafrian menyebut, bahwa terhadap masalah besar terkait utang BUMN. Ia mencontohkan BUMN Garuda yang gagal bayar, namun tetap diselamatkan oleh pemerintah. Masalah Garuda ini seperti fenomena gunung es. Menurutnya ada banyak BUMN lain juga bermasalah berat, karena harus menanggung pembiayaan untuk berbagai macam proyek infrastruktur. Dengan demikian, ia meminta perusahaan pelat merah seperti PLN, BUMN Karya, Pertamina, untuk melakukan perbaikan sisi keuangan.

“Jika pembayaran utang BUMN macet yang menanggung adalah pemerintah atau menjadi utang pemerintah,” kata dia.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, utang yang ditarik pemerintah digunakan untuk menyelamatkan dan mensejahterakan masyarakat di tengah krisis pandemi Covid-19. “Walaupun kita defisit, drop, kita masih bisa berutang, tapi itu untuk menyelamatkan masyarakat, ekonomi, dan sosial,” kata Menkeu Sri Mulyani dalam Economic Outlook, Selasa (22/3).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *