Puasa: Meraih Hidup Bermakna

Puasa: Meraih Hidup Bermakna
Prof. Dr. H. Haedar Nashir
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.idPUASA atau al-shaum secara harfiah al-imsak artinya menahan diri. Muslim yang berpuasa ialah orang yang mampu menahan hawa nafsu. Menahan diri dari makan, minum, dan pemenuhan nafsu biologis sebagai simbol menahan diri dari segala hasrat duniawi.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Mereka yang berpuasa mampu menaklukkan hawa nafsu dengan menyalurkannya secara baik dan tidak membiarkannya liar. Mereka yang lulus berpuasa termasuk golongan washatiyyah, yaitu orang yang bersikap tengahan atau secukupnya dalam menjalani kehidupan.

Hawa nafsu itu induk dari semua berhala, kata sufi terbesar Jalaluddun Rumi. Takhta, harta, dan segala pesona dunia sering membuat manusia lupa diri sehingga menjadi pemuja nafsu. Nafsu berlebih sering menjadikan manusia serakah atas dunia. Nabi memberi ilustrasi, bila dia minta satu gunung emas dan diberi, ia akan minta gunung emas kedua dan ketiga. Kebenaran, kebaikan, kepantasan, dan nilainilai luhur agama atau aturan yang baik akan diterabas demi hasrat nafsu berlebih itu.

Berpuasa itu tujuannya la’allakum tattaquun agar insan muslim makin bertakwa (QS Al-Baqarah: 183). Takwa ialah wiqayah (kewaspadaan) lahir batin untuk selalu khasyah (takut) kepada Allah dengan menjalankan segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, dan lebih jauh lagi kita terjaga dirinya dari siksa neraka. Artinya, mereka yang berpuasa menjalani kehidupan menjadi lebih utama hidupnya untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Insan bertakwa selalu ber-taqarrub kepada Allah dan menjalani kehidupan dengan benar, baik, dan patut sesuai tuntunan ajaran Islam. Insan bertakwa itu senantias beriman, berilmu, dan beramal saleh dengan sepenuh hati untuk meraih kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.

Orang bertakwa itu hidupnya bersih lahir dan batin, disiplin, tanggung jawab, taat aturan, suka bekerja keras, berani dalam kebenaran, rasa malu ketika salah, serta memiliki kehormatan dan martabat diri yang tinggi selaku manusia yang mulia dan utama.

Mereka yang bertakwa selalu tergerak berbuat jujur, benar, adil, tepercaya, dan melakukan segala kebaikan untuk dirinya, keluarga, masyarakat, dan umat manusia.

Dunia dengan segala dimensi materi di dalamnya penting untuk diolah atau dimakmurkan secara bertanggung jawab. Insan muslim tidak boleh menjauhi atau menjadi antidunia (QS Al-Baqarah: 30, Hud: 61, Al-Qashash: 77). Namun, harta, kekuasaan, dan segala pesona duniawi tidak boleh dikejar atau dikuasai secara rakus atau berlebihan (QS At-Takatsur: 1-2). Apalagi demi meraih kuasa dunia lantas merusak sistem kehidupan manusia dan alam semesta (QS Ar-Rum: 41, Al-Baqarah: 11).

Dunia mesti dijalani dengan benar, baik, dan bermoral yang berbasis nilai ilahiah yang kukuh agar dunia menjadi sajadah panjang menuju kehidupan abadi di akhirat.

Insan bermakna

Manusia yang mencukupi hidupnya di dunia dan menjadikan kehidupan sebagai jalan ibadah dan fungsi kekhalifahan yang bermakna menunjukkan martabat paripurna. Dirinya sudah selesai secara keduniawian. Meski tidak berlebih, tetapi berusaha menjadikan hidup itu bermakna utama bagi diri dan lingkungannya. Ilmu, hikmah, dan pengalaman hidupnya yang kaya menjadikan dirinya bermartabat futuwah atau kesatriaan yang utama. Dalam hidup berbangsa, futuwah itu berjiwa negarawan, yang menempatkan kepentingan umum di atas hasrat diri dan kroninya.

Allah menempatkan manusia sebagai insan dimuliakan sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an yang artinya, “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna,” (QS Al-Isra: 70).

Ketinggian martabat manusia diawali dari penciptaannya sebagai makhluk terbaik atau fi ahsan at-taqwim (QS At-Tin: 4) dengan kedudukan dan tugas selaku abdullah untuk mengabdi kepada Allah (QS Adz-Dzariat: 56) dan khalifat fil-ardl untuk memakmurkan bumi (QS Al-Baqarah: 30, Hud: 61). Pemuliaan derajat itu tidak diberikan dan dimiliki makhluk Tuhan lain. Karena itu, menjadi suatu hal yang bertentangan dengan prinsip penciptaan manusia manakala ada di antara manusia merendahkan diri dan sesamanya sehingga jatuh martabat dirinya karena terpenjara nafsu dunia.

Puasa mengasah akal budi menjadi luhur dan utama. Manusia yang menggunakan akal budinya dengan baik tentu tidak berperangai seperti hewan, sebagaimana peringatan Allah dalam Al-Qur’an yang artinya, “Dan sungguh, akan Kami isi neraka jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah,” (QS Al-‘Araf: 179).

Sosiolog Peter L Berger menyebut manusia menjadi chaos, yakni menjalani kehidupan kacau. Agama, aturan, etika, dan nilai luhur dijungkirbalikkan sehingga terjadi kekacauan sistem kehidupan.

Alam pikiran ‘modern’ plus nafsu duniawi salah kaprah telah memutar balik epistemologi ilmu dan kehidupan manusia dari kebenaran hakiki ke dunia semu, yang melahirkan post truth yang meluas di jagat raya hidup umat manusia.

Kehidupan menjadi ironi, yang benar disalahkan, kesalahan dibenarkan dan memperoleh dukungan luas, sehingga terjadilah dunia kacau nilai. Kehidupan chaos seperti itu dalam rujukan Babad Tanah Jawa disebut zaman kalabendu sebagaimana tertulis dalam Ramalan Jayabaya tentang dunia jungkir balik. Manusia yang secara fisik ragawi bermahkota tinggi karena hasrat duniawi berlebih akhirnya jatuh ke titik terendah!

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *