Daftar Donatur Palestina
Hajinews.id – Hidup dalam sistem demokrasi, yang liberal, atas dasar hak, hak dipilih dan memilih, siapa saja bisa menjadi ketua (umum) partai politik atau organisasi massa meski dirinya tidak punya kapasitas. Atas nama kebebasan, seseorang dengan modal ketampanan, charisma, atau sokongan dari kekuatan kekuasaan, meski dirinya tak mempunyai kapasitas, bisa menjadi pemimpin.
Akibat yang demikian, demokrasi yang ada menjadi tidak bermutu sebab partai politik yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat menjadi tidak berdaya karena tidak bisa bagaimana berorganisasi. Kalau tidak demikian, partai tersebut hanya menjadi boneka atau alat penekan yang dimainkan oleh kelompok-kelompok tertentu, entah dari pemberi dana atau kekuasaan yang ada.
Partai yang demikian lahir bukan inisiatif dari ketua atau pengurus partai namun dari kelompok eksternal. Kelompok eksternal itu membuat cabang-cabang organisasi di masyarakat dengan tujuan dijadikan sebagai lumbung atau kekuatan yang kelak akan mendukungnya yang mengatasnamakan rakyat. Untuk itu, kelompok eksternal tadi mencari orang-orang yang mau menjadi ketua atau pengurus partai. Agar partai tersebut dibilang keren maka dicarilah orang-orang yang popular, entah artis, presenter berita, selebgram, dan mereka yang memiliki tampilan yang cantik atau ganteng. Sedang dasar pinter atau tidak itu urusan nomer dua.
Mereka pasti menerima tawaran dari kekuatan kekuasaan atau pemodal sebab mereka diiming-iming dengan janji yang manis dan bayaran yang tidak kecil. Kalau tidak demikian pasti mereka tidak mau sebab berpolitik merupakan pekerjaan yang berat.
Dalam perjalanan waktu, partai tersebut pastinya membebek pada pemberi dana atau kekuasaan yang membentuknya. Jadi mereka tidak akan pernah kritis pada pemberi dana atau kekuasaan yang membentuknya. Ia lebih rela atau berani melawan rakyat dan kekuatan yang kritis kepada kekuasaan yang membentuknya bila rakyat atau oposisi mengkritik. Di sinilah kelucuan itu muncul, sebagai partai yang seharusnya kritis pada kekuasaan kok malah mendukung secara membabi buta.
Sebagai kelompok orang yang tiba-tiba menjadi politisi, yang awalnya mereka adalah penyanyi, artis, presenter berita, dan selebgram, kemudian menjadi pengurus partai, rupanya mereka gagap dalam mengambil sikap. Konsolidasi partai yang dilakukan lewat rapat-rapat bisa jadi tidak pernah dilakukan sehingga koordinasi di antara ketua dan pengurus tidak berjalan atau saling tidak tahu bila ada kegiatan dan kebijakan yang dikeluarkan.
Ada satu partai politik yang katanya menyebut diri sebagai partainya anak muda, kaum milineal. Mereka melakukan hal yang konyol. Ketua dan pengurusnya rupanya tidak sejalan. Apa yang dilakukan oleh pengurusnya tidak diketahui oleh ketua partai begitu sebaliknya. Hal demikian terjadi bukan pada masalah hal-hal yang kecil namun pada masalah-masalah kebijakan yang besar dan vital.
Ada satu pengalaman dengan partai itu, ketika pengurusnya mendeklarasikan calon presiden versi seleranya, eh ketua partainya tidak tahu. Hal demikian menunjukan kekonyolan, mengapa pengurus partai yang mendeklarasikan itu tidak memberi tahu pada ketua partainya? Apakah ketua partainya tidak penting sehingga tidak perlu dilibatkan atau diberi tahu. Kalau pengurus partai saja berani tidak memberi tahu pada ketua partainya hal demikian menunjukan bahwa pimpinan partai itu tidak dianggap. Tidak dianggap bisa jadi tidak penting, tidak bisa apa-apa, goblok, atau secara diam-diam menjadi musuh bersama sehingga tak ada gunanya memberi tahu.
Di sisi yang lain, ketua partai itu membuktikan dirinya tidak bisa mengorganis struktur partai yang di bawahnya. Mungkin dirinya lebih asyik dengan dirinya sendiri sehingga tidak mau tahu apa yang ada di dalam. Akhirnya mereka berjalan sendiri-sendiri sehingga seperti komedi putar yang lucu.
