PDIP dan Media Surya Paloh: Untung Didukung, Rugi Dirundung

PDIP dan Media Surya Paloh
Jokowi dan Surya Paloh
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Pada akhirnya, praktik konglomerasi media ini berdampak pada sempit dan terbatasnya ruang publik, demikian menurut Anggia Valerisha asal Universitas Parahyangan dalam artikel jurnal dengan judul Dampak Praktik Konglomerasi Media Terhadap Pencapaian Konsolidasi Demokrasi di Indonesia (2016).

Menurutnya “yang dilakukan oleh media sarat dengan kepentingan pemilik media yang notabene ikut dalam aktivitas politik.” “Media tidak lagi independen, objektif, jujur, dan netral menjalani perannya sebagai lembaga sirkulasi informasi bagi warga masyarakat sebagaimana yang diharapkan terjadi dalam demokrasi yang dewasa.”

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Bulan Madu Selesai

Situasi kini jelas telah berubah. Minggu lalu PDIP mengadukan Media Indonesia dan Metro Tv ke Dewan Pers. Alasannya, dua media itu dianggap “media internal partai” dan merugikan PDIP. Integritas kedua media itu juga dipertanyakan karena disinyalir ada anggota DPP Partai Nasdem yang juga bekerja di redaksi.

Isu rangkap jabatan yang dilaporkan PDIP sebenarnya tidak hanya ditemukan di Partai Nasdem. Partai Perindo yang dinaungi oleh pemilik MNC Grup Hary Tanoe pun sama. Nama Syafril Nasution yang adalah Wakil Ketua Umum DPP Partai Perindo juga merupakan Direktur MNC Grup.

Salah satu juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019 bernama Usman Kansong. Pria yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo itu sampai tahun 2020 masih menjadi karyawan Media Indonesia.

Rangkap jabatan yang terjadi di Partai Perindo, Usman ketika terlibat dalam tim kampanye, lalu dukungan penuh media terhadap Jokowi pada 2014 lalu, tidak pernah jadi masalah bagi PDIP.

Sebagian pihak menduga PDIP memang bukan menyasar media massa yang seharusnya memberi tanggung jawab moral kepada publik, melainkan Partai Nasdem. Belakangan hubungan kedua partai tersebut renggang dan bahkan terlibat saling sindir pada Juni 2022. Terlebih lagi sejak Partai Nasdem mengusung Anies Baswedan untuk Pilpres 2024 dan salah satu kader menyebut Gubernur DKI Jakarta itu adalah antitesis Jokowi.

PDIP mengatakan tidak ada kepentingan politik di balik pelaporan itu. Semua murni kepentingan jurnalistik.

Terlepas dari politis atau tidaknya maksud PDIP, praktik jurnalisme partisan telah dikritik sejak lama. Pada 2014 lalu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyebut “Surya Paloh adalah pemilik stasiun TV yang paling masif menjadikan media miliknya sebagai sarana politik. Aburizal Bakrie adalah tokoh politik dengan frekuensi dan durasi iklan tertinggi (152 kali). Hanura adalah partai dengan porsi pemberitaan tertinggi di RCTI (frekuensi, durasi, dan citra positif).”

Mungkin tidak bakal banyak yang berubah kecuali sekarang PDIP merasakan betapa ruginya dampak jurnalisme partisan pada partai mereka.

Sumber: tirto.id

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *