Kini, dalam usianya 1 abad, pilar NU, yakni pesantren, sejak dekade 1970-an juga telah berkembang dalam wajahnya yang makin kompleks, tidak lagi monolit, yakni wajah salaf. Pesantren kholaf (modern) tumbuh dimana-mana dengan berbagai wajah dan institusi-institusi pendidikan yang dikembangkannya. NU pun telah banyak mendirikan universitas, dan banyak pula pesantren hingga memiliki jenjang pendidikan tinggi universita. Para peneliti mensinyalir pada dekade tersebut (1970-an) adalah awal dimulainya urbanisasi kaum sentri. Namun apa yang terjadi pada dekade-dekade berikutnya, terutama sejak dekade 1990-an, adalah terjadinya gelombang besar sarjana NU dari berbagai disiplin ilmu. Wajah generasi NU pun berubah, tidak lagi hanya dipenuhi kaum kiyai dan ustadz-ustadz di kampung, seperti pernah dikatakan KH Wahab Hasbullah, “mencari sarajan di NU seperti mencari pedagang es lilin di tengah malam”. Tetapi kini, dalam jumlah yang hampir sama besarnya, bahkan lebih besar, adalah terdiri dari golongan profesional, dari peneliti, akademisi, politisi, hingga bisnismen.
Kekuatan-kekuatan baru yang tumbuh dari “tanah” NU itu jelas memerlukan ruang eksistensi dan kiprah baru. Sampai di sini, untuk mempersingkat tulisan, saya ingin mengatakan bahwa NU perlu melakukan lompatan jauh ke depan dengan melakukan gerakan kembali ke Khittah kedua. Jika kembali ke Khittah pertama adalah menarik NU dari jambangan politik —kini perjuangan NU di ranah politik telah diwadahi PKB— maka kembali ke Khittah kedua adalah untuk mendigdayakan NU sebagai gerakan pemikiran dan ekonomi, sebagaimana visi Taswirul Afkar dan Nahdlatut-Tujjar yang merupakan embrio dan energi inti berdirinya NU, dan inilah tuntutan peran masa depan NU.***
SELAMAT SATU ABAD NU