Maka jelaslah bahwa dimensi ilmu yang awalnya hanya bersifat empirik yang diibaratkan aliran-aliran sungai, atau cabang-cabang ilmu itu, berproses menuju sumber mata air, jika terus menerus ditekuni.
Tentu saja bagi yang merasa cukup dengan ilmu-ilmu empirik, dan tidak yakin akan adanya kesinambungan ilmu itu ke sumber mata air, akan berpuas diri dengan ilmu yang bersifat empirik itu, tidak akan berupaya lagi meningkatkan upayanya untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi, yakni memasuki dimensi ilmu yang bersifat quantum tadi itu.
Ditambah lagi, tentu mereka tidak akan pernah bertemu dengan “mata air”, dan selanjutnya mustahil untuk disertakan menemui “sumber mata air”.
Dari uraian diatas, jelaslah bahwa ilmu pengetahuan itu sejatinya cuma satu saja, ibarat “mata air” itu cuma satu saja yang bersumber dari Yang Maha Esa. Karena itu, kita dengan yakin dapat berkata bahwa; perbedaan-perbedaan pengetahuan hanya terjadi di wilayah persepsi, dan ditentukan oleh pencapaian-pencapaian seseorang dalam meningkatkan kualitas individualnya. Juga oleh perbedaan metodologinya. Perbedaan bukan terletak pada ilmu, yang sejatinya satu saja sumbernya.
Tentu saja ibarat ahli fisika klasik, akan berbeda capaiannya dengan para ahli fisika quantum dalam memahami realitas-realitas yang ditemukan.